Bab 7

2.7K 220 31
                                    

BIMA

Hari ini jadwal saya cukup padat. Setelah menghadiri rapat di gedung rektorat, saya harus mengajar di dua kelas, kemudian sore harinya wajib meladeni mahasiswa yang sudah mengantri di depan ruangan saya.

Saya bukanlah dosen yang suka mempersulit mahasiswa. Dibanding dosen-dosen lain, saya termasuk mudah untuk ditemui. Tapi meskipun saya cukup kooperatif, bukan berarti saya menggampangkan output mahasiswa saya. Saya memegang prinsip objektifitas dalam memberikan nilai. Tidak jarang saya memberikan nilai D pada mahasiswa yang membangkang dan itidak mengikuti aturan. Beberapa mahasiswa juga pernah mendapat nilai A dari saya, meski sangat jarang. Bukan karena saya pelit, tapi saya punya standart yang jelas dan terukur.

"Anda sudah seminar proposal dua bulan lalu dan baru mulai mengolah data sekarang? Apa yang Anda kerjakan selama 2 bulan ini?" Saya menegur mahasiswa bimbingan saya yang sudah menjalani semester 10.

"Maaf, Pak. Setelah selesai seminar proposal, saya harus pulang kampung untuk mengurus orangtua saya yang sedang sakit. Saya baru bisa memegang skripsi saya lagi beberapa minggu ini."

Saya menghela nafas panjang sambil membaca hasil pengolahan data skripsinya yang dituangkan ke dalam beberapa lembar kertas. "Semester ini tinggal 2 bulan lagi. Kalau Anda tidak bisa mengejar sidang skripsi semester ini, Anda harus membayar UKT lagi untuk semester depan. Pikirkan itu baik-baik."

Mahasiswa bertubuh jangkung dan kurus itu mengangguk lesu. "Saya mengerti, Pak," jawabnya.

Saya mempersilakannya keluar setelah saya selesai memeriksa datanya dan memberikan beberapa perbaikan. Tubuh saya sudah sangat lelah. Saya memutar leher ke kiri dan ke kanan lalu meregangkan punggung dengan bersandar ke sandaran kursi. Saya memejamkan mata sejenak. Baru beberapa detik saya mengistirahatkan mata, sudah terdengar lagi suara ketukan pintu. Saya kira antrian di luar sudah habis, ternyata masih ada.

"Masuk!"

Pintu terbuka perlahan. Seorang perempuan bertubuh kecil dengan rambut hitam sebahu berdiri sambil memegang gagang pintu. "Anda lagi?" saya berujar heran. Jarang sekali seorang mahasiswa semester satu begitu rajin menemui wakil dekan. Kemarin dia datang untuk meminta maaf dan sudah saya maafkan. Lalu sekarang apa lagi?

Saya sudah memperhatikannya sejak saya mengeluarkannya dari kelas karena tidak membawa buku yang saya wajibkan. Saat itu dia terkesan menantang saat menatap saya. Matanya mengingatkan saya pada seseorang. Mereka sedikit mirip dari sorot mata dan bentuk bibir. Tapi sayangnya watak mereka sangat jauh berbeda. Saya bahkan belum pernah melihatnya tersenyum sedikitpun.

Perempuan muda bersepatu kets lusuh itu sangat angkuh dan sinis. Saat saya memberikannya buku secara cuma-cuma, dia malah menolak dengan terang-terangan. Padahal dia tergolong kurang mampu dan kuliahnya pun bergantung pada beasiswa dari pemerintah. Entah apa yang membuatnya begitu angkuh.

Bukan hanya itu, saat saya menolongnya dari pria-pria mabuk di jalan, dia masih saja bersikap sinis. Dia malah menceramahi saya soal kesetaraan gender hanya karena saya mengingatkannya agar lebih berhati-hati di jalan. Aneh sekali. Apakah dia bersikap seperti ini pada semua orang atau hanya pada saya saja?

Keanehan perempuan ini tidak cukup sampai disitu saja. Setelah berhasil membuat saya jengkel, dengan tidak tahu malunya, dia malah datang ke ruangan saya untuk meminta maaf. Apakah anak muda zaman sekarang memang selabil ini? Kasihan orangtuanya, pasti mereka sangat kewalahan mengurus anak ini.

"Ada apa?"

Dia melangkah masuk dan menutup pintu. Kemudian dia meletakkan cup kopi berlogo siren hijau di atas meja. Saya melihatnya dengan alis terangkat untuk meminta penjelasan.

I'm Your BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang