Halo, guys. Akhirnya kita bertemu lagi. Berhubung vote dan komen di bab sebelumnya sudah tercapai, kita lanjut ke bab berikutnya, ya.
Target vote 350 dan komen 300 untuk update bab selanjutnya.
MENTARI
Penyesalan datang sesaat setelah ciuman yang begitu memabukkan itu berakhir.
Kuakui rasanya begitu nikmat dan candu seperti dibawa terbang ke langit, tapi ini tetap salah. Sekalipun aku tidak pernah menganggapnya sebagai ayahku, aku tidak bisa memungkiri darahnya yang mengalir dalam tubuhku. Aku adalah darah dagingnya. Tidak sepantasnya kami berciuman seperti tadi.
Setiap kali berada di dekatnya, otak dan tubuhku seringkali tidak sejalan. Otakku memerintahku untuk mendorongnya, tapi tanganku malah memeluk lehernya lebih erat. Otakku berkata ciuman itu harus disudahi, tapi tubuhku malah ingin melakukannya lebih lama dan tidak rela saat ciuman itu berakhir. Ini gila. Benar-benar gila.
Aku meninggalkan dia di rooftop dan kembali ke kamar. Lututku sampai gemetar karena sensasi ciumannya yang begitu dahsyat. Caranya menghisap bibirku dan lumatannya yang begitu intens dan lembut masih terbayang sampai aku berada di kamar mandi. Aku berdiri di depan cermin memandangi pantulan diriku yang basah kuyup. Kudekap tubuhku yang menggigil dan kugigit bibir bawahku yang masih berdenyut kebas.
Astaga! Kenapa aku terus membayangkannya! Apa aku sudah terjerumus ke dalam perangkapku sendiri?
Kubuka seluruh pakaianku yang sudah basah dan aku berdiri di bawah shower. Air hangat menjalar mulai dari kulit kepalaku hingga telapak kaki.
Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku masih mendekam di dalam kamar. Pintu kamar kukunci dari dalam agar dia tidak bisa masuk. Sudah 15 menit aku berjalan mondar-mandir tanpa tujuan. Dia masih ada di luar dan pastinya sedang menungguku keluar.
Setelah 20 menit berlalu, tiba-tiba dia mengetuk pintu. "Mentari? Kamu sudah selesai?"
Aku duduk di tepi ranjang dengan tatapan waspada ke arah pintu. Aku sangat berharap dia segera pulang. Setidaknya beri aku waktu untuk menenangkan diri dan mengembalikan kewarasanku.
"Saya beli pizza. Ayo kita makan sama-sama," serunya dari balik pintu.
Pizza?
Mendengar nama makanan itu, aku langsung berdiri. Seumur-umur aku belum pernah memakan pizza dan sejak kecil aku sudah sangat penasaran dengan rasa makanan Italia itu.
Kuputar kunci pintu kamar dan kubuka perlahan. Dia berdiri tegak dengan satu tangan bertumpu pada kosen pintu dan tangan satu lagi berada di kantong celana training yang ia pakai. Dia sudah berganti pakaian.
Tiba-tiba dia mengambil tangan kiriku dan menggenggamnya. Dia menuntinku menuju meja makan.
Disana sudah tersedia pizza berbentuk bulat penuh yang dipotong-potong menjadi beberapa bagian berbentuk segitiga. Dia menarik kursi untukku dan mendorong kedua pundakku setelah aku berdiri di depan kursi itu. Kemudian dia duduk di kursi lain di depanku.
Di hadapanku tersedia segelas minuman soda berwarna kecoklatan, sementara di hadapannya ada botol minuman beralkohol dan gelas kosong.
"Kamu belum boleh minum ini," ujarnya sambil mengisi gelas kosongnya dengan minuman dari botol.
Aku tidak tertarik dengan minumannya. Aku sedang menatap pizza di hadapanku dengan tatapan lapar. Bentuknya sangat menggugah selera dan membuat air liurku hampir menetes keluar.
Dia mengambil satu potongan pizza lalu menyodorkannya ke depan mulutku. "Makan," ucapnya.
Aku menggigit bagian ujungnya yang lancip dan mengunyahnya dengan penuh penghayatan. Jadi begini rasanya pizza.

KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Your Blood
Romance"Bagaimanapun, darahnya mengalir dalam tubuhku. Tidak sepantasnnya aku memiliki perasaan ini untuknya." Mentari berniat membalaskan dendamnya pada Bima Pamungkas, ayah biologisnya, atas perbuatannya yang telah meninggalkan ibunya saat sedang hamil d...