Tekan ☆ sebelum scroll ke bawah!!
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Aku dan Sharon duduk di kursi panjang dekat air mancur tak jauh dari area parkir. Sudah sekitar 15 menit kami berada di sini tanpa obrolan sampai kopi kaleng yang dibelikan Jo untukku tadi siang sudah hampir habis. Sharon membawaku ke sini setelah secara tidak sengaja aku memergokinya berpelukan dengan seorang pria di parkiran.
"Namanya Arditama Wibowo."
Akhirnya Sharon buka mulut. Dia menyesap dalam-dalam batang rokok yang terselip diantara jari telunjuk dan jari tengahnya, menghembuskannya ke atas, lalu kembali bicara. "Seperti yang kamu lihat, kami memang punya hubungan khusus."
Aku tidak terkejut sama sekali sebab aku sudah pernah melihat perbuatan Sharon yang jauh lebih parah dari sekadar berpelukan. Lagipula aku tidak merasa pantas untuk menghakiminya sebab aku pun tidak lebih baik darinya.
"Tapi ini tidak seperti hubunganmu dengan suami saya," lanjutnya. "Hubungan saya dan Ardi bukan atas dasar cinta, melainkan kebutuhan satu sama lain. Dia seorang suami yang tidak mendapat kepuasan dari istrinya, sedangkan saya adalah istri yang kesepian. Tepatnya simbiosis mutualisme."
Dia tertawa getir, lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil menyilangkan kaki kanan ke atas kaki kiri. Dia terus mengisap batang rokoknya sambil menatap ke arah air mancur di depan kami.
Entah kenapa kali ini dia tampak lebih tenang menghadapiku. Tidak ada tanda-tanda ingin menyerangku seperti sebelumnya. Meski begitu, aku masih tetap waspada terhadapnya mengingat perbuatannya yang pernah nekat membayar dua orang preman untuk menculik dan memperkosaku. Aku tidak akan pernah melupakan peristiwa mengerikan itu.
"Saya dan Ardi tidak pernah berniat untuk membawa hubungan gelap ini ke arah yang lebih serius, tapi sejak skandal kalian terbongkar ke media, dia jadi ikutan gila. Dia berencana menceraikan istrinya agar bisa menikahi saya, tapi saya nggak mau."
Dia menoleh ke samping melihatku. Kami bertatapan.
"Karena saya masih punya sedikit hati nurani untuk tidak merebut dia dari istri dan anaknya," ucapnya seolah menyindirku.
"Bukannya Anda yang membongkar hubungan kami ke pihak kampus hingga akhirnya tersebar ke media?" balasku tak kalah sinis.
"Itu adalah balasan yang setimpal untuk suami yang sudah mempermalukan istrinya di depan banyak orang bahkan berniat menghancurkan karir istrinya hanya demi membela selingkuhannya. Kalau dia bisa menghancurkan karir saya, maka saya juga bisa menghancurkan karirnya."
"Seolah Anda adalah istri yang setia," sahutku.
Aku sudah muak dengan tingkahnya yang selalu merasa sebagai korban, padahal kelakuannya sama saja.
Dia mengalihkan pandangannya dariku tanpa menimpali sindiranku. Keheningan kembali menyelimuti kami. Hanya suara gemericik air mancur dari kolam bundar yang terdengar di telingaku. Kulihat jam sudah mendekati pukul 11 malam. Aku harus segera pulang.
Kuletakkan kopi kaleng yang belum habis di atas kursi yang kami duduki, lalu bersiap untuk pergi tanpa berpamitan padanya. Mungkin dia masih ingin duduk di sini untuk menghabiskan rokoknya sambil menikmati udara malam.
"Kami akan bercerai."
Kalimat yang ia ucapkan dengan tiba-tiba mengurungkan niatku untuk beranjak dari kursi. Perhatianku tertuju padanya, menunggu kalimat selanjutnya.
Dia menekan sisa puntung rokoknya ke kursi hingga padam, lalu kembali bicara. "Kami sudah menandatangani surat kesepakatan cerai sebelum saya berangkat ke Jepang. Dia benar-benar keras kepala. Belum pernah saya melihat dia seambisius itu untuk mendapatkan sesuatu."

KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Your Blood
Romance"Bagaimanapun, darahnya mengalir dalam tubuhku. Tidak sepantasnnya aku memiliki perasaan ini untuknya." Mentari berniat membalaskan dendamnya pada Bima Pamungkas, ayah biologisnya, atas perbuatannya yang telah meninggalkan ibunya saat sedang hamil d...