❤️‍🩹BAB 10. DIFFERENT

283 20 3
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Makasih, Max," ujar Saira kala keduanya berhenti di persimpangan.

Lelaki dengan ciri khas tindik di telinganya itu mengerutkan dahinya, mendengar kata terima kasih yang keluar dari mulut gadis di depannya ini.

"Makasih buat, apa?" tanya Max balik.

"Soal yang tadi," sahut Saira pelan.

Max menghela napas kasar, dan berkata, "Dia Ibu tirimu?"

Saira mengangguk lemah, apa yang dikatakan oleh Saira tempo hari sama sekali tidak ada dusta. Ia benci terlihat lemah oleh orang lain, akan tetapi sulit untuk melawan orang dewasa. Apalagi dengan keadaan saat ini, ia tidak memiliki sosok yang siap sedia memberikan ia perlindungan. Membiayai Saira, ia tidak ingin meminta uang pada kedua orang tuanya. Yang sudah sangat jelas tidak menginginkan kehadiran Saira, lantaran Saira hanya lah beban untuk keduanya.

"Kalau dia datang lagi, kamu langsung lari aja. Dilihat-lihat dia seperti Ibu tiri di dongeng-dongeng, jangan sampai kamu dipukul sama Nenek lampir kayak dia. Kamu bisa ilmu bela diri?" Max untuk pertama kalinya berbicara panjang lebar.

"Gak, aku gak bisa begituan. Selain pekerjaan rumah dan belajar, aku gak tahu apa-apa," balas Saira lirih.

Derap langkah kaki mendekati keduanya, Bastiaan berdiri di antara Saira dan Max. Pria dengan rambut kuning taik kucing itu tampak melirik Saira dan Max berganti-gantian, dan menghela napas kasar.

"Apakah kalian mau menganggu orang yang mau lewat? Malah berdiri di sini," celetuk Bastian dengan ekspresi ngeselin di mata Max.

"Kamu mau lewat, ya, lewat aja," sahut Max menatap tajam ke arah sang sahabat.

Bastian cengengesan mendengar jawaban dari sang sahabat, tangannya bergerak melingkari bahu Max. Tersenyum lebar ke arah Saira, di mata Saira sendiri. Bastian adalah orang paling aneh, kadang terlihat jahil. Kadang terlihat serius, dan terkadang terlihat menakutkan.

"Hai! Saira, sudah makan belum? Kalau belum, yuk ke kantin. Tenang aja aku yang akan bayarin," sapa Bastian mengalun.

Saira mengeleng cepat. "Aku dah sarapan pagi, kalau begitu aku ke kelas duluan. Max, sekali lagi thanks, ya," pungkas Saira kala manik matanya bergerak ke arah Max.

Lelaki itu mengangguk, kedua tungkai kaki jenjang gadis itu tampak bergerak ke arah lorong. Bastian menatap lekat ke arah Max, sang sahabat tampak menurunkan tangan Bastian yang melingkar nyaman di pundak lebar Max.

"Eh, ada apa di antara kamu sama dia, Max? Kok aku mengendus aroma yang aneh." Bastiaan berucap dengan hidung tampak mengendus-endus udara.

Max memutar malas kedua bola matanya, membalikkan tubuhnya. Melangkah ke menuju gedung belakang sekolah. Bastian sontak saja mengejar Max, lelaki bermata sempit satu itu tidak akan pernah pergi. Sampai ia mendapatkan jawaban apa yang dia mau, sedangkan Max sendiri adalah tipikal yang malas untuk berbicara panjang lebar.

ELEGI (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang