Sesekali kepala gadis remaja dengan hoodie hitam, rambut dikucir tinggi ke atas melirik ke kanan dan ke kiri. Koper berukuran besar berada di sisi tubuhnya, wajahnya tampak kuyu. Saira tidak tahu sudah berapa lama dirinya menunggu, tidak ada yang datang menjemput dirinya. Bukankah Saira sudah memberikan kabar bahwasanya dirinya datang ke Jakarta, benda persegi panjang di tangannya sama sekali tidak bergetar.
"Apakah mereka lupa?" tanya Saira pada dirinya sendiri.
Bibir bawahnya digigit pelan, suara hujan lebat mengalihkan fokus Saira dari ponsel ke arah luar. Manik mata teduhnya mendapati kehadiran keluarga kecil yang ke luar dari dalam restoran di seberang sana. Terlihat si ayah dengan cekatan mengancingkan jaket si putri, sedangkan sang ibu membenahi rambut putri kecilnya. Senyum di bibir Saira terbit, ah, lucu sekali.
Mobil berhenti di seberang sana, untuk beberapa saat. Sebelum melaju membawa ketiganya pergi. Saira kembali menunduk, ia merindukan ayah dan ibunya. Bagaimana kabar keduanya, sudah sangat lama mereka tidak bertukar kabar. Bertatap muka, derap langkah kaki mendekati dirinya.
"Kenapa Mama dan papanya masih belum datang, Dek?" tanya lelaki berseragam satpam restoran di mana Saira izin berteduh.
Saira menarik kedua sisi bibirnya ke atas. "Belum, Pak! Sebentar lagi akan sampai. Mungkin macet di jalan," sahut Saira membuat air wajah lelaki tersebut menjadi aneh.
"Kalau begitu Adek mau masuk ke pos itu dulu, tunggu di dalam saja," tuturnya lembut.
Saira mengeleng, dan berkata, "Terima kasih atas tawarannya, Pak! Mereka sebentar lagi akan sampai. Nanti malah kelimpungan mencariku, apalagi kami sudah lama gak ketemu. Takutnya mereka lupa dengan wajahku."
Lelaki berusia 45 tahun tersebut menghela napas kasar, kasihan sekali ia dengan gadis remaja satu ini. Sudah hampir 10 kali ia bertanya kapan orang tuanya sampai, dan Saira selalu menjawab sebentar lagi. Ia sempat bertanya perihal kenapa Saira pergi sendirian dari desa ke kota, gadis remaja ini menjawab kalau ia tidak punya siapa-siapa lagi di desa. Lantaran kakek dan neneknya baru saja meninggal dunia satu bulan yang lalu, dan Saira harus ke Jakarta menyusul kedua orang tuanya yang sudah bercerai.
"Adek Saira sudah makan? Kalau belum mau Bapak beliin makanan di dalam?" tanyanya penuh perhatian.
Lagi-lagi Saira mengeleng dengan senyuman lembut. "Aku tadi sudah makan Pak, jadi gak lapar lagi."
"Masa? Ini sudah 5 jam, loh, Adek Saira menunggu di sini. Kalau makan sebelum ke luar dari terminal. Sudah pasti lapar lagi," sahutnya.
Saira lapar, sungguh. Sangat, tetapi ia tak ingin menyusahkan lelaki paruh baya yang sedang bekerja ini. Bibir Saira terbuka, deru mesin mobil berhenti tak jauh dari tempat Saira berteduh saat ini. Wanita cantik ke luar dari sana, melangkah cepat ke arah Saira.
"Saira!"
Gadis cantik itu menoleh ke arah asal suara, ia mendapati sang ibunda. Terlihat melangkah terburu-buru, ekspresi Saira langsung semringah. Ia bangkit dari duduknya, sang satpam pun menghela napas lega. Akhirnya wanita itu datang juga, ia melangkah perlahan menjauh dari sana. Meninggalkan ibu-anak itu untuk berbicara, melepaskan rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI (END)
Teen FictionJudul awal "Love Me, Please" Senandung nada "Syair Dukacita" merupakan musik yang hanya dapat didengarkan, dunia terus berputar. Namun, mengapa rindunya tak pernah pudar? Dunia orang lain tampak baik-baik saja. Tetapi dunia Erlangga tidak lagi begi...