Saira terkantuk-kantuk mendengarkan penjelasan sang guru sejarah di depan sana, jendela yang dibuka menelusupkan angin siang untuk menggoda siswa-siswi yang tengah melalui kegiatan ajar-mengajar. Beberapa orang menguap lebar, bak dongeng pengantar tidur. Fira menghela napas, sekali tampak melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Oke, sampai di sini pelajaran yang Bapak ajarkan. Dan tolong kerjakan tugas di halam 60, pr harus dikumpulkan minggu besok. Tidak ada lagi asalan untuk tidak mengerjakan tugas yang Bapak berikan," kata lelaki berkepala plontos, dan rahang yang tak simetris.
Lenguhan para siswa-siswi tidak membuat sang guru kasihan, ia merapikan buku paket yang ia bawa. Sebelum kedua kakinya melangkah lebar ke arah pintu ke luar, Siara terperanjat kala bahunya ditepuk kecil.
"Oh? Ah, iya? Ada apa?" Saira terlihat begitu lucu dengan mata yang sulit untuk dibuka.
Sialnya lagi pelajaran selanjutnya adalah matematika, sungguh hari Senin adalah hari paling tidak berwarna di mata anak-anak sekolah. Tidak terkecuali oleh siswa-siswi SMA, Fira tampak nyengir kuda.
"Ke toilet, gih! Itu matamu dah kayak kena lem," kata Fira memberikan usulan agar Saira kembali sadar.
Saira menoleh ke depan, kosong! Astaga. Ia sama sekali tidak sadar kalau sang guru sudah selesai menjelaskan sejarah Indonesia, dan keluar dari ruangan kelas. Saira melongok ke arah Fira teman sebangkunya. Fira merupakan gadis yang ceria, dan baik di mata Saira. Hanya Fira yang peduli dengan gadis bermata teduh satu ini, Saira mengangguk pelan.
"Kapan Pak Irwan selesai mengajar?" tanya Saira terdengar serak dan berat.
"Barusan, dan Bapak Irwan malah ngasih pr buat kita semua kerjakan. Di halam 60, nyebelin banget. Mana sebentar lagi si Guru killer itu akan masuk, menyusahkan aku aja sama tugas-tugas yang dibawanya," jawab Fira sedikit medumel kesal.
Bayangan saja hari Senin mereka semua harus upacara bendera, setelah dijemur di bawah terik matahari. Mereka harus dibuat kalang-kabut dengan mata pelajaran fisika serta Kimia, setelah mengisi perut mereka masing-masing. Kelas X.1 harus berhadapan dengan mata pelajaran sejarah. Membuat mereka yang mengisi kenyang perut mereka, tergoda untuk menutup mata.
Saira terkekeh kecil. "Kalau begitu aku ke toilet dulu, ya. Kamu mau ikut aku ke toilet, gak?"
Fira mengeleng lemah, dan menjawab, "Gak deh, aku di kelas aja. Lagian nanti pas belajar matematika, aku yakin 100 persen. Mataku akan langsung melek, lantaran ubun-ubunku berasap."
Saira kembali terkekeh, ia bangkit dari posisi duduknya. Teman-teman di kelasnya terlihat sibuk, ada yang berkerumun untuk bergosip. Ada yang keluar dari kelas entah ke mana, Saira mengayunkannya langkah kakinya untuk menyusuri lorong-lorong gedung sekolah. Beberapa kali ia harus menutup mulut lantaran menguap, bekerja keras dan belajar membuat Saira lelah secara fisik maupun batin.
"Kamu pacaran sama Saira?"
Mendadak langkah kaki Saira berhenti kala indera pendengarannya menangkap namanya diseret-seret, Saira terlihat mengedarkan kedua bola matanya. Mencari dari mana asal-muasal suara perempuan yang terdengar familiar di indera pendengarannya, bahkan kantuk yang tadinya melanda menguap entah kemana.
"Emangnya ada yang salah kalau aku pacaran dengan dia?"
Ah, itu dia! Saira mengedap-enap melangkah mendekati ruangan basket in-door, tangannya menarik sedikit pintu untuk terbuka dengan penuh kehati-hatian. Rasa penasaran menggerogoti hati Saira, membuat kedua kakinya diayuankan untuk ke toilet jadi ke berhenti di pintu lapangan basket in-door. Mata Saira mengintip, mencari keberadaan wanita dan pria yang tengah berbincang-bincang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI (END)
Teen FictionJudul awal "Love Me, Please" Senandung nada "Syair Dukacita" merupakan musik yang hanya dapat didengarkan, dunia terus berputar. Namun, mengapa rindunya tak pernah pudar? Dunia orang lain tampak baik-baik saja. Tetapi dunia Erlangga tidak lagi begi...