❤️‍🩹BAB 4. IZINKAN AKU TINGGAL!

324 28 1
                                    

Suara sendok dan garpu beradu di atas piring, sorot mata dingin Erlangga memperhatikan Saira yang makan dengan lahapnya. Jika diperhatikan gadis cantik dengan mata teduh itu seakan tidak makan satu mingguan, melihat dari cara ia menyantap makanan di atas meja. Jarum infus sudah tidak lagi bersarang di nadinya, sudah 30 menit lalu dilepaskan oleh dokter keluarga Prayoga.

"Jadi, kamu satu sekolah dengaku?" tanya Erlangga langsung melayangkan pertanyaan pada gadis yang telah menyapu bersih piring makannya.

Saira mengangguk perlahan, dan berkata, "Ya, aku dan kamu satu sekolah dan sepantaran juga."

"Tapi kok, aku gak pernah melihat kamu di sekolah," sahut Erlangga sebelum melipat kedua tangannya di dada, mata yang masih fokus pada gadis bermata teduh di depannya.

Saira melepaskan sendok dan garpu, meletakkan perlahan di atas piring yang licin. Jujur saja Saira tidak pernah makan dengan layak selama di rumah ayahnya, semuanya makanan sisa. Belum lagi pekerjaan yang semuanya ia yang kerjakan, ia sudah seperti seorang babu dibanding seorang tamu.

"Aku anak baru," jawab Saira jujur. Tangan langsung terulur ke arah Erlangga, dengan sorot mata penuh harap. Kedua alis mata tebal Erlangga ditarik ke atas melihat tingkah aneh Saira.

"Kamu mau ngapain?" tanya Erlangga dengan mata tertuju pada tangan kanan Saira.

"Kenalan," sahut Saira tak tahu malu.

Erlangga Prayoga, pria beken si tuan muda dingin. Lelaki yang dicintai oleh Chesy, anak wanita itu. Gadis yang terlihat begitu lugu dan manis, topeng sialan yang ingin sekali Saira hancurkan. Gadis itu berpura-pura menjadi seorang malaikat, berhati baik. Nyatanya Chesy tidak lebih dari setan betina di mata Saira, sama hal seperti ibu dari gadis remaja itu sendiri.

Lantas bagaimana jika Saira menghancurkan cinta naif Chesy toh Saira pun tidak akan pernah dicintai oleh siapa pun, ia dikucilkan serta diasingkan. Persetan dengan rendah hati dan baik hati, hatinya terus diinjak-injak. Ayahnya tidak bisa adil padanya, ibunya tidak acuh tak acuh padanya. Ia adalah korban di sini, korban dari kedua belah pihak. Namun lucunya, ia yang dituntut mati-matian untuk mengerti dan memahami.

"Erlangga," sahut Erlangga cepat. "Itu namaku, kalau kamu bermaksud ingin berkenalan denganku," lanjutnya.

Saira menarik kembali tangannya, mengangguk-angguk kecil. "Namaku Saira Prawira, kamu bisa panggil namaku cukup dengan Saira, aja."

"Kamu dah sehat, kan? Jadi sudah bisa aku anter pulang. Aku bertanggung jawab atas kerugian yang kamu alami, dan aku gak sengaja. Well, berapa pun kamu minta uang, aku akan memberikan," tutur Erlangga menjelaskan situasi yang mereka berdua alami.

Saira diam, memutar otaknya. Ia tidak ingin pulang ke rumah itu, gadis berambut hitam legam di sepinggan ini benci melihat tawa mereka. Ia sakit hati, ke mana pun ia pergi. Ia lah orang asingnya, ia benci dengan perasaan rendah diri yang ia miliki.

"Aku gak butuh uang," balas Saira dengan intonasi nada berat. "Dibanding dengan uang, bagaimana kalau kamu bisa memberikan aku tempat tinggal. Gak masalah di kamar pembantu, atau di gudang, kek. Aku akan kerja di sini, aku bisa masak, bersih-bersih, cuci pakaian, aku juga bis—"

"Wait! Wait! Aku gak lagi cari pembokat. Di rumah ini semuanya sudah ada, dan kamu pasti punya orang tua. Yang ada, orang tuamu bisa lapor polisi, karena menyangka kamu menghilang," potong Erlangga cepat.

Lagi dan lagi ekspresi itu, aduh! Sumpah. Ekspresi yang kini diperlihatkan oleh Saira pada Erlangga mengganggu sekali di mata lelaki ganteng satu ini, kepala Saira menunduk perlahan.

"Bokap dan Nyokap, mereka bercerai. Aku kayak koper, ditarik ke sana dan ke sini. Sebelum dibuang ke tumpukan barang bekas, ya, bisa dibilang. Nasibku lebih menyedihkan daripada anak yatim-piatu di luar sana, setidaknya mereka jelas gak ada orang tua. Lah, aku, ada tapi kerasa gak ada," gumam Saira terdengar berat dan dalam. "Ah, sorry, aku bukan maksud menjual kisah sedih. Cuma aku sedang putus asa, gak tahu mau kemana. Dan aku pikir jadi pembokatmu lebih nyaman, dibanding hidup kayak bola basket yang suka kamu mainin," sambungnya.

Erlangga terdiam, hatinya berdenyut pedih. Mukanya datar, berbanding terbalik dengan hatinya yang mudah tersentuh. Keheningan mengisi kekosongan nada, Erlangga tampak berpikir keras. Menimbang-nimbang apakah dia akan mengabulkan permintaan Saira, atau tetap mengantarkan gadis remaja sepantaran dengan dirinya itu pulang.

"Kalau aku tetap nganterin kamu, balik bagaimana?" tanya deep voice seksi milik Erlangga mengalun.

"... aku, mending budir aja lah, cari jembatan. Dar—"

"Hei! Kamu gila, hah!" teriak Erlangga naik beberapa oktaf membuat Saira tersentak.

Telapak tangan Saira mengusap naik-turun dadanya, astaga! Suara lelaki ini membuat jantungnya hampir copot dari tempatnya. Bibir Saira terbuka, dan terkatup kembali.
Erlangga pun terkejut karena suaranya yang begitu keras, memotong perkataan Saira.

Decitan kaki kursi dengan marmer terdengar jelas, lelaki jangkung itu bangkit dari posisi duduknya. Bibirnya berdecak kesal, lidahnya menjilat kasar bibirnya yang mendadak kering. Saira memperhatikan bagaimana frustrasinya lelaki satu ini, cowok yang dinilai cuek.

"Oke! Gini aja, untuk sementara. Kamu boleh tinggal di rumah ini, nginap aja di kamar tamu. Sampai Mami dan Papi pulang dari luar kota, nanti mereka yang akan memutuskan kamu bisa kerja di sini atau gak," putus Erlangga membawa senyuman lebar di bibir Saira.

"Oke, aku, setuju! Makasih, Erlangga!" seru Saira dengan manik mata berbinar-binar bahagia.

Erlangga menghela napas kasar, tanpa kata melangkah menuju kamarnya. Ternyata lelaki itu tidak sedingin apa yang orang-orang katakan, ia memiliki sisi hangat.

***


"Wah, hebat ya," ujar suara mencemooh kala pintu gudang di rumah itu terbuka.

Saira yang baru selesai mengemasi barang-barangnya, melirik ke arah Chesy. Sorot mata penuh cemoohan itu tampak jelas, di mana wajah sok lugu dan baiknya dari gadis satu ini?

"Kenapa? Bukankah ini yang disukai sama ibumu?" Saira menyahut dengan ekspresi wajah mengesalkan di mata Chesy. "Kalau berdua denganku, tanduk iblis milik kamu langsung keluar, ya. Sama kayak ibumu, saat sudah merebut papaku," lanjut Saira membuat wajah Chesy merah padam.

"Apa yang barusan kamu, bilang, hah?" teriak Chesy melengking.

"Ssstttt! Jangan kencang-kencang. Ingat! Orang-orang di rumah ini tahunya kamu itu malaikat. Gak pernah marah, kayak ibumu. Manis banget saat merebut papaku. Setelah itu, taringnya keluar. Harusnya anak dari wanita murahan kayak kamu, itu sadar diri," balas Saira.

Chesy melangkah lebar, suara keras dari tamparan Chesy membuat dua orang dewasa turun dari lantai atas. Jari telunjuk tangan Chesy naik-turun mendakwa, Saira. Sudut bibir Saira pecah, pipi kirinya berdenyut pedih. Saira bersyukur ia ditampar saat ini, setidaknya rasa sakit ini semakin membulatkan tekad Saira untuk menghancurkan Chesy.

Suara ayahnya yang terdengar bertanya, dan suara ibu Chesy yang langsung marah-marah padanya. Saira tersenyum tipis, harusnya sedari awal ia tidak menahan diri untuk melampiaskan amarahnya pada semua orang.

Bersambung...

Bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ELEGI (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang