PLAK!
Kerasnya tamparan yang dilayangkan oleh Riri, membuat panas dan pedih pada pipi kiri Chesy. Embusan napas Riri memburu, Chesy menoleh perlahan ke arah sang ibu dengan pupil mata melebar. Ada apa dengan ibunya ini? Chesy merasa sangat lelah saat ini. Malah mendapatkan tamparan begitu keras, bukanya dihibur.
"Ma!" seru Chesy tak mengerti. "Mama apa-apaan? Kenapa tiba-tiba tampar aku kayak gini?" tanya Chesy menyentuh pipinya.
"Kamu tahu apa yang sudah kamu lakukan, Chesy? Mama harus bagaimana sekarang. Astaga," kata Riri tampak frustrasi.
Sepertinya sang ibu tahu apa yang terjadi di perkemahan, siswa-siswi langsung kembali ke Jakarta. Lantaran peristiwa yang menimpa Saira, membuat mereka tidak fokus.
"Mama nuduh aku celakain anak kampung, itu?" Chesy menatap ibunya dengan ekspresi kesal.
Riri dibuat tidak berani mengangkat telepon atau sekadar membaca pesan dari wali kelas Saira, beruntung sang suami masih belum tahu apa yang terjadi. Riri melongok ke arah pintu kamar utama yang tertutup, ia menarik pergelangan tangan si sulung untuk menjauh dari rumah. Chesy yang ditarik-tarik hanya menurut saja, tanpa harus meronta. Merasa cukup jauh dari rumah, Riri berhenti. Ia melepaskan pegangan di tangan kanan sang putri.
"Ini bukan pertama kalinya kamu begini, Chesy. Kamu mungkin lupa, tapi Mama masih ingat dengan hari itu. Perbuatanmu," ucap Riri, membuat ekspresi wajah Chesy sontak saja datar.
"Lalu, kenapa? Bukankah karena itu Mama dan Papa Saira jadi bersama. Karena siapa, karena aku, Mama," sahut Chesy terdengar berani.
"Harusnya cukup sampai di sana Chesy, kalau sampai semuanya terungkap. Apakah kamu pikir hanya akan membuat masa depanmu menjadi seorang narapidana? Gak, Chesy. Mama pun akan terseret, karena membantu menghilangkan barang bukti. Dan paling parah rumah tangga Mama berantakan," ujar Riri memperingatkan sang putri.
"Semuanya sudah terjadi, Mama. Mau di saat itu maupun sekarang, gak akan ada bedanya. Harusnya dia mati saja saat itu," sahut Chesy terdengar cukup berani, meskipun ujung buku jari jemari tangannya mendingin.
Riri pun mau Saira mati, sama seperti adik gadis itu. Akan tetapi bukan di tangan sang putri, itu sangat berbahaya untuk mereka berdua.
"Apakah kali ini ada saksi mata?" tanya Riri, mendesah lelah.
Kepala Chesy mengeleng cepat. "Gak ada saksi mata, Mama. Cuma... Gea tahu apa yang terjadi. Tapi Mama tenang aja, Gea malah menyarankan aku untuk berbohong. Dia takut terlibat dalam masalah ini," jawab Chesy jujur, sebagaimana gadis ini tahu. Gea merupakan orang paling tidak ingin namanya kena masalah, lantaran memiliki ayah yang sangat menakutkan.
Riri diam beberapa saat, ia berpikir keras bagaimana ini semuanya bisa terjadi. Apalagi sang putri nyatanya melakukan tindakan gila 2 kali, saat itu mungkin semuanya berjalan mulus. Namun, kali ini apakah masih sama? Hati Riri mendadak mendua. Perasannya tak enak, seakan-akan teringat kisah masa lalu. Sebelum Riri menjadi istri sah dari Bobi, kepala Riri terasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI (END)
Teen FictionJudul awal "Love Me, Please" Senandung nada "Syair Dukacita" merupakan musik yang hanya dapat didengarkan, dunia terus berputar. Namun, mengapa rindunya tak pernah pudar? Dunia orang lain tampak baik-baik saja. Tetapi dunia Erlangga tidak lagi begi...