❤️‍🩹BAB 40. MELEPASKAN

400 18 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Dokter Yohan mengeleng lemah, bulir bening meleleh menyapa pipi sang remaja lelaki. Pekikan maupun raungan tak ada artinya, kedua orang tua Erlangga memasang ekspresi wajah tak kalah terpukulnya. Rahmi meraung dalam penyesalan mendalam, hujan masih saja deras menguyur Ibu Kota.

"Saira tidak selemah itu, Dokter. Bu—bukankah dia sudah sejauh ini bertahan?" tukas Erlangga dengan intonasi bergetar dan tergagap.

Pria remaja ini bukan sosok pria yang cengeng, jatuh dan terluka adalah hal biasa. Namun, luka ditinggalkan oleh gadis yang ia cintai, tidak sanggup untuk di bendung.

"Saira sudah berusaha semaksimal mungkin pada batasnya, Nak Erlangga. Kini lepaskan Saira dengan tenang, dia menunggumu di dalam. Menunggu orang-orang terkasih untuk terakhir kalinya, pembuluh batang otaknya pecah," papar dokter Yohan pedih.

Bagaimana tidak berbulan-bulan gadis remaja itu dirawat, ia kembali datang dengan keadaan mengenaskan 1 jam yang lalu. Benturan yang harusnya dihindari oleh kepala Saira yang masih belum dalam tahap baik-baik saja, kini kembali dihantam keras. Keadaan kritis, beberapa dokter yang ikut bergabung membentuk team untuk memeriksa Saira, sama-sama mengeleng, angkat tangan dengan kondisi gadis cantik itu.

Erlangga mengepalkan kedua telapak tangannya, kedua kaki panjang pemuda jangkung itu bergerak memasuki ruangan. Matanya basah, hatinya hancur melihat gadis yang katanya hanya memintanya menunggu 1 jam. Tangan Erlangga menyentuh telapak tangan Saira yang terasa begitu dingin, kedua kelopak matanya terpejam erat.

"Saira, dia bisa mendengarkanmu. Katakan saja apa yang ingin kamu katakan," tutur dokter ahli saraf yang bergabung dalam team dokter Yohan untuk menangani kasus Saira.

Kepala Erlangga menengadah, ia dapat mendengar deru napas yang terdengar memendek. Erlangga dapat merasakan perasaan sesak tanpa ujung, seakan hatinya mengirimkan sinyal. Jika ini kali terakhir untuk mereka berdua, jari jemari panjang milik Erlangga bergetar hebat.

"Apakah ini sangat sakit?" tanya Erlangga dalam satu tarikan napas, parau.

"Aku mencintaimu."

"Ya, Sayang 1 jam saja tunggu aku di sana."

"Aku sungguh mencintaimu, Erlangga."

Tangis Erlangga pecah kala ingat kata-kata terakhir dari voice note yang dikirim setiap menit, entah karena gadis cantik itu tak tahu harus mengirim pesan apalagi pada sang kekasih. Atau karena firasat gadis ini meyakinkan kalau pesan terakhir untuk sang kekasih tersampaikan, Erlangga ingin memaki siapa pun saat ini. Bahkan takdir, tidak luput dari makiannya. Erlangga hidup dengan kebahagiaan, lelaki remaja satu ini mendapat banyak cinta dari sekelilingnya. Tetapi, tidak dengan Saira. Sang kekasih nyatanya hidup berbalut luka, dan ketakutan ditinggalkan. Kini Erlangga sadari, bagaimana rasa takut ditinggalkan oleh orang terkasih.

PUK! PUK!

"Sabar, katakan apa yang ingin kamu katakan pada Saira, Erlangga. Saira sudah tak punya waktu lama lagi, Erlangga." Bambang menepuk-nepuk kecil bahu si bungsu.

ELEGI (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang