Dari kaca transparan sorot mata Erlangga tampak meredup, memperhatikan gadis yang terbaring di atas ranjang pesakitan dengan beberapa alat medis. Ia baru saja di keluarkan dari ruang operasi, dipindah ke ruangan pemulihan untuk di observasi 2 jam ke depan. Usapan perlahan di bahu lebarnya, mengalihkan atensi Erlangga ke arah Rahayu sang ibunda.
"Makan dulu, Ga! Mama sudah bawa makanan dari restoran kesukaanmu," kata Rahayu lembut, ia menarik kedua sisi bibirnya ke atas. "Saira masih butuh waktu untuk kembali sadar, kamu 'kan udah dengar tadi kata Dokter. Operasinya lancar, tinggal nunggu Saira siuman. Dan observasi keadaannya, sebelum itu kamu harus makan dulu. Isi tenaga, biar kuat nungguin Saira bangun lagi," lanjut Rahayu membujuk si bungsu, yang mengeleng lemah.
"Aku gak lapar, Ma," tolak Erlangga bersuara.
Rahayu menghela napas kasar, dan berkata, "Kalau kamu sakit, karena gak makan. Yang ada kamu malah merepotkan semua orang, Saira setelah sadar nanti masih butuh masa pemulihan. Kalau kamu malah gak ada mendampingi Saira di masa pemulihan, Saira bisa sedih, loh," balas Rahayu, masih berusaha membujuk Erlangga mengisi perutnya yang kosong.
Bibir Erlangga terbuka, derap suara langkah kaki mendekati keduanya terdengar jelas. Anak dan ibu itu melongok ke arah Kinanti-guru wali kelas Saira yang masih setia di sana, ia tampak lelah seharian di rumah sakit.
"Erlangga, ada nomor orang tuanya Saira, gak? Soalnya nomor walinya gak ngangkat atau membalas pesan yang telah Ibu kirimkan," tutur Kinanti, tampak resah.
Bagaimana tidak, sebagai tenaga pengajar sekaligus wali kelas. Kinanti memiliki tanggung jawab yang berat, apalagi kondisi murid didiknya terluka parah. Nomor yang didaftarkan sebagai wali murid malah abai, Kinanti tidak mengerti mengapa wanita itu tidak mengangkat teleponnya. Bahkan pesannya via WhatsApp sama sekali tidak dibaca.
Erlangga mengerutkan dahinya, yang Erlangga tahu wali Saira adalah ibu tirinya. Untuk ibu kandung Saira sendiri terlampau sibuk, hingga tidak lagi bertatap muka dengan Erlangga.
"Aku gak punya nomor orang tuanya, Saira, Bu," jawab Erlangga jujur. "Tapi kalau gak salah di ponselnya ada nomor kedua orang tuanya. Apa Bu Kinanti ada ponselnya Saira?"
Ah, benar. Ponsel gadis cantik itu, Kinanti jadi linglung. Ia lupa kalau tadi suster telah menyerahkan semua barang di badan Saira pada Kinanti, sebelum operasi dimulai. Kinanti menepuk kecil dahinya, dan mendesah lelah.
"Astaga! Ibu lupa, tadi sempat dikasih sama Suster. Tapi taruh di mana ya," gumam Kinanti, lupa di mana ia meletakkan barang Saira. "Oh, iya, di mobil. Kalau begitu Bu tinggal dulu Erlangga, kamu harus makan. Isi tenaga, biar gak tumbang. Kalau gitu Ibu ke parkir mobil dulu. Pamit dulu, Bu Rahayu," lanjutnya memberikan nasihat sekaligus berpamitan untuk ke parkiran rumah sakit.
Rahayu mengangguk dan tersenyum lemah, Kinanti melangkah meninggalkan keduanya. Rahayu mengeleng pelan, kenapa bisa-bisanya wali Saira begitu. Agaknya tidak mungkin hampir 13 jam di zaman sekarang tidak pegang ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI (END)
Teen FictionJudul awal "Love Me, Please" Senandung nada "Syair Dukacita" merupakan musik yang hanya dapat didengarkan, dunia terus berputar. Namun, mengapa rindunya tak pernah pudar? Dunia orang lain tampak baik-baik saja. Tetapi dunia Erlangga tidak lagi begi...