Ayahnya terus berbicara tentang kekecewaannya pada putri pertamanya itu, bagaimana bisa jadi seperti ini? Dan Saira, gadis itu hanya diam mendengarkan sampai selesai."Kamu sudah tahu kesalahanmu, apa?" tanya Bobi pada putrinya.
Saira mengangkat kepalanya membawa atensinya pada sang ayah, lama sekali ia memperhatikan wajah ayahnya dengan saksama. Senyum lembut, nada suara penuh kehangatan memanggil namanya. Sirna sudah, semenjak rumah tangga kedua orang tuanya kandas.
"Lantas, apakah Papa tahu salah Papa sendiri di mana padaku?" tanya balik Saira tanpa rasa takut.
Entah kemana perginya sikap lembut, dan penuh pengertian gadis remaja satu ini. Mata teduhnya menatap intens pada cinta pertamanya, sekaligus lelaki pertema pula yang membuat ia terluka.
"Ha? Apa yang kamu maksud, Saira? Kok jadi Papa yang ditanyai salahnya di mana," sahut Bobi dengan dahi mengernyit.
Saira bangkit dari posisi duduknya, koper miliknya berada di samping bangku. Diembuskan napas perlahan, Saira tidak bisa begini lagi. Diam menahan setiap luka yang digoreskan oleh kedua orang tuanya, baik ayah dan ibunya. Saira ingin hidup dengan kemauannya sendiri, tidak lagi berharap dicintai oleh keduanya. Hingga menahan setiap pekikan mentalnya, Saira ingin berjuang untuk dirinya sendiri. Persetan dengan keluarga, dengan impiannya.
"Papa pernah gak selama ini menanyai keadaanku, kalau bukan Nenek yang ngomong. Papa hanya akan diam saja, tidak pernah menghubungi kampung. Papa tahu gak kalau aku gak makan, atau hanya makan makanan sisa di rumah ini. Setelah berkerja kayak pembantu di sini, Pa? Sebelum Papa tanya di mana letak kesalahanku yang bertengkar dengan putri tiri Papa tersayang itu. Maka coba Papa lihat dahulu diri Papa apakah Papa tidak melihat salah Papa di mana," papar Saira menggebu-gebu.
Bobi tercekat mendengarnya, manik matanya melirik ke arah pintu rumah yang terbuka. Tidak mungkin Riri memberikan makanan sisa pada Saira, ia memang selama ini tidak pernah menanyakan keadaan Saira. Karena ia tahu, ibunya akan memberikan yang terbaik untuk putrinya.
"Tapi Papa sudah membesarkan kamu selama ini, Saira. Dan kamu sebagai anak harusnya lebih mengerti, Papa dan Mama tidak mungkin selalu bisa menjagamu. Dan selalu memperhatikan kamu, apalagi sekarang Papa sudah punya kehidupan sendiri. Kamu 'kan anaknya pintar. Masa hal seperti ini harus Papa jelaskan juga," balas Bobi mempertahankan egonya sebagai seorang ayah.
Kepala Saira mengangguk-angguk cepat, menipiskan bibirnya. "Kalian berdua yang memutuskan menikah, kalian berdua memutuskan memiliki anak, dan kalian berdua berpisah. Papa berselingkuh dengan janda, sedang Mama sibuk mengejar karirnya. Bahkan barang antik saja lebih berharga daripada aku, di mata kedua orang tuaku. Papa punya keluarga, Mama pun begitu. Lantas aku harus bagaimana, Pa? Kalian terus menuntut aku mengerti dan mengerti. Sedangkan kalian tidak mengerti aku, jika gak bisa jadi orang tua harusnya kalian bunuh saja aku saat kalian bercerai!" teriak Saira melengking keras di akhir kata urat lehernya mencuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI (END)
Teen FictionJudul awal "Love Me, Please" Senandung nada "Syair Dukacita" merupakan musik yang hanya dapat didengarkan, dunia terus berputar. Namun, mengapa rindunya tak pernah pudar? Dunia orang lain tampak baik-baik saja. Tetapi dunia Erlangga tidak lagi begi...