Diam, mata yang terus memperhatikan empat sosok di meja seberang. Tawa dan canda keempatnya, sesekali membuat kedua sisi sudut bibir gadis cantik itu naik tinggi ke atas. Rengekan manja terlihat begitu manis di mata Saira, tepukan di atas bahunya menyentak sang gadis.
"Lihat apa, sih? Sampai senyum-senyum begitu," sapa pria jangkung yang entah kapan sampai di samping Saira.
Erlangga duduk di sisi kursi kosong tempat di samping Saira, gadis itu menggeleng pelan. Erlangga penasaran, membawa lirikan mata tajamnya ke arah empat orang yang terlihat kini bangkit dari posisi duduk. Keluarga Cemara, begitulah orang-orang melabeli keluarga utuh dan bahagia.
Agaknya tidak perlu Saira menjelaskan apa yang menyebabkan dirinya terfokus pada keluarga itu, Erlangga mengerti tanpa harus melanjutkan pertanyaan. Diliriknya kembali wajah Saira dari ekor matanya, gadis bermata bening bak kilauan bintang di gelapnya malam. Mata yang penuh harap, ketulus, dan kehampaan dalam satu waktu.
"Kenapa?" tanya Saira tanpa harus mengalihkan pandangan matanya ke arah Erlangga.
Kini giliran Erlangga yang mengeleng lemah. "Tidak ada," jawab Erlangga cepat. "Apakah kamu gak lelah harus bekerja dan belajar dalam satu waktu?"
Saira menipiskan bibirnya, menarik kedua sisi bibirnya ke atas. "Lelah atau tidaknya, bukan menjadi persoalan untuk diriku, Erlangga. Kehidupan akan terus berjalan, mengutuk takdir pun tidak ada artinya. Dibandingkan tengelam pada rasa sakit, aku ingin berjalan terus menerus sampai aku menemukan apa yang aku cari dalam kehidupan ini. Bergantung pada seutas tali yang rapuh, sama halnya cari mati. Letih merupakan bagian dari kehidupan juga," sahut Saira terdengar dalam.
Erlangga memutar perlahan posisi duduknya, menghadap ke arah Saira. Helaian surai hitam menari kala dibelai angin malam, keduanya duduk di teras lantai atas menghadap ke arah taman komplek perumahan mewah. Gemas sekali Erlangga melihat surai lembut itu menyulitkan ia untuk melihat cantiknya wajah sang gadis, tangan Erlangga terangkat.
Saira terperanjat, kala jari jemari panjang Erlangga menarik perlahan untaian rambutnya ke arah belakang. Menyelipkan helain rambut nakal itu di belakang daun telinga, udara dingin seakan membekukan tubuh sang gadis. Ulah sang lelaki yang kini tersenyum lembut ke arah Saira, Erlangga tak sungkan-sungkan meraih telapak tangan kanan Saira. Menggenggamnya dengan lembut, manik mata Saira bergerak perlahan menuju wajah Erlangga. Degup jantung yang menggila, pencahayaan lampu teras nan temaram membuat suasana mendadak menjadi ambigu untuk keduanya.
"Aku," gumam suara bariton itu mengalun samar. "Gak tahu bagaimana caranya agar bisa membuatmu, bahagia Saira. Aku merasa aneh setiap saat melihatmu memasang ekspresi berbeda-beda, sama seperti malam ini. Aku berharap bisa membuatmu bahagia, tetapi aku gak tahu bagaimana caranya agar bisa membuatmu bahagia. Ketika matamu mendadak menyendu, rasanya dadaku berdenyut sakit." Erlangga menyentuh sisi dadanya, manik mata keduanya masih saling bersitatap.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEGI (END)
Teen FictionJudul awal "Love Me, Please" Senandung nada "Syair Dukacita" merupakan musik yang hanya dapat didengarkan, dunia terus berputar. Namun, mengapa rindunya tak pernah pudar? Dunia orang lain tampak baik-baik saja. Tetapi dunia Erlangga tidak lagi begi...