❤️‍🩹BAB 32. KECUPAN

258 18 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Embusan angin sore terasa begitu menyejukkan, beberapa kali Saira menoleh ke arah samping. Melirik Erlangga yang tampak diam, kepalanya menengadah menatap gugusan awan yang menggumpal, berarak menuju ke sisi Utara.

Tanpaknya Erlangga masih saja kesal dengan apa yang terjadi, apalagi kala pemuda satu ini tahu Farel duduk di kursi yang sama dengan Saira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Tanpaknya Erlangga masih saja kesal dengan apa yang terjadi, apalagi kala pemuda satu ini tahu Farel duduk di kursi yang sama dengan Saira. Mereka berdua sempat berbincang-bincang, dan hasilnya Erlangga masih saja bad mood.

"Masih mau mendiamiku, nih?" Saira bersuara, lantaran sang kekasih masih saja mengatup rapat bibirnya. "Kalau masih mau diam sendirian, aku balik ke tenda aja nih," lanjut Saira.

Panik.

Erlangga dengan pergerakan cepat menahan pergelangan tangan Saira, kepala Saira menunduk melirik ke arah pergelangan tangannya ditahan. Sebelum bergerak perlahan menengadah, menatap wajah Erlangga.

"Hah, oke, aku kalah. Aku bukannya mau mendiamimu, Saira. Aku kesal dan cemburu," tutur Erlangga mengundang tawa renyah di bibir Saira melambung.

Kedua sisi pipi Erlangga mengembung, gadis ini adalah cinta pertamanya sekaligus kekasih pertama Erlangga. Erlangga yang biasanya terlihat dingin dan datar, menjadi sosok yang berbeda saat bersama Saira. Bahkan ia mendadak tidak ingin menyentuh berkas apapun saat ini, ia ingin dibujuk oleh gadis di sampingnya ini. Tidak peduli bagaimana orang-orang menilai dirinya, mau dibilang kekanak-kanakan atau apapun. Yang jelas saat ini, Erlangga tengah dirasuki oleh virus cemburu.

"Jangan ketawa," peringat Erlangga, mayun.

Saira meredakan tawanya, mengulum senyum tipis. Kepalanya terlihat celingak-celinguk memperhatikan sekitar, kedua menepi diam-diam dari area perkemahan. Merasa tidak ada orang Saira beringsut, memeluk Erlangga.

Degup jantung yang mengila, tubuh lelaki itu membatu. Saira mengulum senyum malu, meskipun begitu ia memberanikan diri memeluk sang kekasih. Mungkin saja bisa menurunkan emosi yang kini menjadi musim panas di dalam hati Erlangga, kepalanya sedikit menengadah memperhatikan guratan ekspresi Erlangga.

"Jangan marah, Erlangga. Tidak ada satu pun lelaki di dunia ini menjadi tempat ternyaman untukku, selain kamu. Dan tidak satu pun keluarga di dunia ini, untuk pertama kalinya aku harap menjadi bagian darinya. Meskipun itu Farel sekali pun, karena duniaku adalah kamu, Erlangga Prayoga," tutur Saira, membawa musim semi di hati Erlangga.

ELEGI (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang