❤️‍🩹BAB 15. SALING MENYALAHKAN

268 20 2
                                    

Kepala Saira menengadah kala jaket kulit milik lelaki di depannya ini disematkan pada kedua sisi bahunya, wajahnya dan Erlangga terlihat begitu dekat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kepala Saira menengadah kala jaket kulit milik lelaki di depannya ini disematkan pada kedua sisi bahunya, wajahnya dan Erlangga terlihat begitu dekat. Embusan napas hangat menerpa wajah Saira, gadis itu membeku menahan napas untuk beberapa saat. Aroma parfum mahal menyeruak masuk ke dalam paru-paru Saira, Erlangga menegakkan tubuhnya.

"Kamu dirawat di sini untuk satu hari, ya. Biar bisa diperiksa secara menyeluruh," kata Erlangga dengan sorot mata lembut.

"Oh?" Saira terlihat tak mengerti. Entah ia mendengar apa yang dikatakan oleh Erlangga atau tidak.

Erlangga duduk di kursi kosong, keduanya duduk di lorong poli rumah sakit. Erlangga baru saja selesai mendaftarkan Saira untuk rawat inap di rumah sakit, gadis ini terlihat begitu pucat. Saira sempat diperiksa, dokter mengatakan kalau Saira kelelahan. Erlangga masih tidak puas dengan diagnosa dokter, remaja lelaki ganteng satu ini meminta untuk pemeriksaan secara menyeluruh. Erlangga menceritakan sekilas apa yang terjadi pada Saira, dan gadis itu hanya diam saja. Tidak ingin menyahut, bahwasanya keadaannya seperti ini tidak ada hubungannya dengan insiden itu.

"Aku sudah mendaftarkan lo untuk nginap di rumah sakit, sehari atau mungkin dua hari. Sampai hasilnya keluar," papar Erlangga menjelaskan kembali.

"Ha? Kamu gila! Gak, ah," bantah Saira setalah kewarasannya kembali.

Kening Erlangga terlihat mengerut. "Kamu itu pucat begitu Saira, kamu harus diperiksa secara menyeluruh. Biar hatiku gak resah lagi," tutur Erlangga tegas.

Saira mendesah kasar, ia harus bekerja dan bersekolah. Masa iya, ia harus tidak masuk kerja. Tidak enak hati pada pekerja di kafe milik keluarga Farel, apabila ia menerima gaji buta. Kerjanya pun hanya setengah hari, tidak sampai seharian.

"Ngapain ngabisin duit, Ga! Aku baik-baik aja, seperti apa yang dikatakan oleh Dokter saat aku diperiksa. Aku itu cuma kelelahan aja, butuh istirahat. Gak butuh yang lain," bantah Saira terdengar nyaris memelas pada Erlangga.

"Kalau terjadi sesuatu di kemudian hari padamu, itu gi—"

"Gak akan ada yang menuntutmu, Erlangga. Sungguh! Gak ada. Kamu pikir kedua orang tuaku akan marah-marah sama kamu, itu hal paling impossible di duniaku. Aku mati pun mereka paling melayat setelah aku dikuburin, percaya deh sama ak—eh, kamu kenapa sih? Mukamu seram, Erlangga," ujar Saira terlihat mengerut dahinya melihat ekspresi pias Erlangga.

Gadis ini tahu betul bagaimana cara membuat hati Erlangga tidak nyaman dengan ucapannya, kenapa harus dibayangkan ke sana. Siapa yang mau melihat gadis ini mati? Kenapa harus kematian yang dibahas, bukan tuntutan orang tua gadis ini yang membuat Erlangga takut.

Tunggu... lantas apa, yang membuat Erlangga resah? Mendengar kata-kata yang keluar dari bibir pucat Saira. Menyakiti Erlangga, lelaki ini membuang muka. Erlangga bangkit dari posisi duduknya, tidak mau menatap wajah Saira.

"Yang penting aku sudah pesan kamar rawat inap VIP, sudah meminta juga untukmu melakukan MRI. Aku harap untuk 2 hari aja, kamu tahan di sini. Aku yang tanggung semua biayanya, kamu itu tanggung jawabku, Saira. Kalau kamu kenapa-napa, aku yang akan merasa mati bersalah. Aku lakuin ini demi diriku sendiri, bukan untukmu atau kedua orang tuamu," tutur Erlangga dengan tegas.

Kedua tungkai kakinya kembali beranjak meninggalkan Saira, gadis itu hanya mampu menghela napas kasar. Memperhatikan punggung belakang Erlangga yang semakin menjauh, lelaki jangkung itu tampak berbicara dengan salah satu staf rumah sakit. Entah apa yang dibicarakan, Saira sendiri pun tidak tahu.

"Kenapa dia keras kepala sekali, sih," dumel Saira terdengar pelan.

***

Bibir Rahmi terbuka lebar mendengar pertanyaan mantan suaminya, keduanya tidak sengaja bertemu di mall. Rahmi membawa kedua putranya untuk main di mall, sedangkan Bobi habis selesai meeting di salah satu restoran mall.

"Ha? Maksudnya Mas Bobi bagaimana? Saira 'kan tinggal sama Mas. Kok Mas Bobi malah tanyain keadaan dia sama aku, ini belum 3 bulan Mas. Mas gimana sih, ini maksudnya Mas mau Saira tinggal sama aku secepatnya. Walaupun belum masuk 3 bulan begitu?" tanya balik Rahmi dengan ekspresi tidak suka.

Jikalau tadi Rahmi yang dibuat mengerutkan dahi oleh pertanyaannya, maka kini giliran Bobi yang mengerutkan dahi.

"Jangan bercanda begitu, Rahmi. Saira gak sampai 2 mingguan tinggal di rumahku. Karena dia membuat ulah, kami bertengkar dan dia... ku pikir dia berada di rumah kamu. Karena saat aku bertemu 3 hari yang lalu di sekolahnya. Dia gak membatah kalau dia tinggal di rumahmu," sahut Bobi.

Kepala Rahmi sontak mengeleng cepat. "Saira memang pernah ke rumahku, Mas. Tapi itu cuma buat kasih kado ulang tahun, lalu pergi begitu saja. Apa yang barusan Mas omongin, kok bisa dia bertengkar sama Mas. Apakah perempuan itu menyiksa, Saira." Rahmi terlihat kesal dengan perkataan mantan suaminya ini.

"Jangan bawa-bawa Riri, Rahmi. Dia mau menerima kehadiran Saira saja sudah untung. Harusnya kamu sebagai Ibu, kamu memberikan perhatian untuk putrimu," berang Bobi tiba-tiba.

Rahmi menyugar kasar rambutnya, mendengar perkataan sang suami. "Dia juga anakmu, Mas. Mas saja sebagai seorang Ayah gak becus, ini pasti karena Mas cuma perhatian sama wanita itu dan anak dari wanita itu."

"Hei! Jaga mulutmu, ya! Inilah yang membuat aku muak sama kamu. Kamu gak pernah menjalani peran sebagai istri dan Ibu!"

"Iya! Iya, karena itulah kamu berselingkuh, kan. Lalu melimpahkan semuanya padaku, begitu."

Suara ribut-ribut dari keduanya membuat pihak keamanan mall langsung mendekati keduanya, beruntung anak-anak yang dibawa oleh Rahmi dijaga oleh baby sitter. Hingga tidak perlu mendengarkan pertengkaran orang dewasa, yang masalah masa lalunya belum selesai.

***

TIK! TIK!

Saira menghela napas kasar, atensinya beralih ke arah cermin besar di wastafel kamar mandi rumah sakit. Lagi-lagi ia mimisan, tangannya bergerak menyalakan air. Membasuh wajahnya yang pucat dengan kasar, beberapa kali ia terlihat membasahi wajahnya. Mengusap kasar hidungnya, kepalanya berdenyut.

"Saira! Apakah sudah selesai?"

Gadis itu sontak menoleh ke arah pintu, tangannya bergerak menghentikan air yang menyala.

"Ya, sudah, Bu! Aku keluar sebentar lagi," jawab Saira cukup keras.

"Jangan lama-lama, buburnya bisa dingin," balas Rahayu.

"Iya, Bu!" Saira kembali berseru keras, disela tangannya meraih tisu. Menyumbat kedua lubang hidungnya dengan tisu. Sebagian lagi digunakan untuk mengeringkan wajahnya.

Beberapa menit ia habiskan untuk menunggu pendarahan di hidungnya berhenti, sesekali terlihat manik mata Saira melirik ke arah pintu. Saira menarik kedua tisu basah terkena lelehan darah, dibuang cepat di tong sampah di sudut ruangan. Saira membenahi penampilannya, sebelum melangkah menuju pintu ke luar.

Bersambung...

Bersambung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ELEGI (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang