Act 13

20.3K 1.8K 179
                                    

Sabrina tergopoh-gopoh turun ke lobi. Dia baru bangun. Otaknya yang belum singkron iya-iya saja sewaktu petugas lobi apartemen mengabari bahwa ada yang ingin bertemu dengannya. Katanya seorang laki-laki. Ingin mengembalikan dompetnya yang terjatuh di jalan.

Baik sekali, pikir Sabrina. Di jaman penuh penipuan seperti sekarang, jarang sekali ada manusia yang mau repot-repot mengembalikan dompet seseorang.

Sabrina merasa terharu. Setidaknya sampai dia menemukan sosok Naka yang lagi berbincang dengan sekuriti. Cowok itu menoleh, sadar akan kehadiran Sabrina. Lalu senyumnya mengembang. Sabrina sampai dibikin berhenti melangkah. Bukan karena tersipu, tapi karena otaknya baru terkoneksi.

Walah, jancok! Apa jangan-jangan dia baru saja dibodohi?

Bibir Sabrina menganga sedikit. Benar, dia baru saja ditipu. Memangnya dia pergi kemana sampai dompetnya jatuh di jalan? Semalam kan dia pergi dengan Adam. Boro-boro bawa dompet, celana training yang dipakainya saja boleh pinjam punya cowok itu.

Memang benar di dunia yang penuh tipu-tipu ini lebih banyak penipunya daripada orang waras. Sabrina merasa bodoh karena masuk perangkap Naka dengan mudah.

Cewek itu berjalan dengan langkah-langkah besar. Boro-boro senang habis disenyumin. Yang ada Sabrina ingin mencakar-cakar wajah Naka dengan penuh emosi.

"Mbak Bina pasti panik banget ya dompetnya hilang? Sampe nggak sempat cuci muka dulu." Pak Catur selaku sekuriti yang biasa stand by di lobi meledeknya geli. Sabrina malu sendiri sampai-sampa bibirnya hanya bisa menyunggingkan senyum masam. Dia pasti terlihat berantakan sekali sekarang.

Ini semua karena Naka! Sangking paniknya, Sabrina mana ingat buat sisiran dan cuci muka. Dia hanya menggulung rambutnya secara asal dan turun ke lobi secepat yang dia bisa. Memang dasar bajingan licik!

"Nih, dompetnya."

Sabrina mendelik. Dompet yang diberikan Naka padanya bukan miliknya. Cowok itu pasti membawa dompet secara asal untuk mendukung kebohongannya.

"Dompet lo jatoh di parkiran kantor pas pulang kemarin. Karena takut lo gak punya uang cash buat isi bensin makanya gue anterin ke sini." Naka lagi-lagi tersenyum. "Saya teman sekantornya, Pak," jelas Naka.

Pak Catur sampai memuji kebaikan hatinya berkali-kali. Tidak tau saja dia kalau Naka itu iblis berotak licik.

"Gue bawa sarapan nih. Numpang sarapan di tempat lo ya?"

Lihat, dia bahkan merencanakan semua ini dengan apik!

Sabrina memutar bola mata. Kalau bukan karena dukungan dari Pak Catur, Sabrina ogah banget mengajak Naka masuk ke unitnya. Dia belum memaafkan Naka atas apa yang dilakukan cowok itu padanya di Sushi Tei kemarin.

"Sekarang baru jam setengah tujuh pagi. Masih terlalu pagi kalo lo mau ngerecokin hari gue." Sabrina berkata ketus sembari bersandar pada dinding lift. Tangannya bersedekap, memandang Naka dengan sorot setajam mata pisau. "Terus terang aja, lo mau apa?"

"Mau ketemu lo."

"Bisa di kantor."

"Kelamaan. Gue pengen ketemu sekarang."

"Orang gila."

"Kayaknya memang harus jadi orang gila buat masuk ke kehidupan lo lagi."

"Termasuk bikin sandiwara kalo lo nemuin dompet gue di parkiran?" Sabrina menyindir pedas.

Naka mengedikkan bahunya, "Itu cara paling sopan buat main ke apartemen lo tanpa ditolak."

"Lalu cara nggak sopannya?"

Agency [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang