Brainstorm hari ini berjalan alot gara-gara pihak Sugar Rush memangkas 30% budget campaign mereka. Anggaran yang awalnya memang sudah kecil makin kecil gara-gara dikurangi. Sudah begitu, mereka menuntut campaign yang bombastis, fantastis, pecah, dan sangat luar biasa untuk meningkatkan awareness brand mereka.
Sabrina pusing bukan main gara-gara ide yang diajukan oleh masing-masing anggota timnya kebanyakan ditolak dengan alasan budget yang tidak memadai. Bahkan hingga brainstorm siang ini selesai, mereka belum juga menemukan titik terang akan dibawa kemana campaign itu.
"Alot deh alot." Bella menggerutu sepanjang mereka keluar dari ruang meeting. "Gue yang dengerin kalian tuker ide aja ikutan pusing. Udah kebayang gimana cerewetnya Sugar Rush nanti pas campaign-nya mau jalan. Bisa-bisa nanti tengah malem gue dikontak sama pihak mereka cuma buat ngeladenin maunya mereka apa."
"Makanya, kalo nggak ada budget tuh minimal jangan banyak nuntut," timpal Sabrina. "Tapi mereka dari awal masuk emang udah begitu. Rewel. Mintanya suka yang aneh-aneh. Konten udah dikasih dari jaman kapan baru diperiksa pas mepet-mepet mau naik. Lo tau sendiri kan gimana kelakuan mereka tiap minta revisi? Dikira gue Bandung Bondowoso." Sabrina berdecak. Teringat dengan permintaan Sugar Rush pada campaign sebelumnya. Setengah sepuluh malam, mereka justru ngide minta dibuatkan konten dan press release. Untung waktu itu ada Naka. "Semoga cepet sadar deh."
Dia berjalan menuju pantry. Otaknya yang stress butuh sedikit asupan kopi. Mengingat jam yang sudah bergerak menuju angka tiga sore, Sabrina lebih memilih membuatnya sendiri daripada membeli dari kedai kopi langganannya.
"Gue toilet bentar."
Gadis itu hanya menanggapi ucapan Bella dengan anggukan. Mereka berpisah di koridor. Langkah Sabrina yang semula begitu mantap menuju pantry mendadak terhenti ketika dia melihat siluet Naka dan Kasa di dalam sana. Obrolan tipis-tipis mereka nyatanya masih sayup-sayup terdegar oleh telinganya.
"Pikirin lagi. Balikan sama Ravel buat apa?" Itu suara Naka. Alih-alih masuk, Sabrina justru menguping dari balik tembok. "Dia udah nyakitin lo. Lebih parah dari apa yang gue lakuin. Gampang banget buat dimaafin. Sementara gue, lo selalu nyalahin gue buat segala yang terjadi."
"Gue nggak bisa bohongin perasaan. Gue sayang dia."
"Gue nggak percaya gue denger kata-kata itu lagi dari lo setelah lima tahun." Naka mendengus. "Dari awal gue rasa perasaan lo memang bukan buat gue." Kata-katanya membuat kening Sabrina mengerut. "Terserah kalo mau balikan. You know exactly what you feel. Nggak guna juga gue ngelarang."
Sabrina makin tidak paham tapi otaknya mulai membuat skenario. Dia termenung hingga menyadari adanya suara langkah kaki mendekat ke pintu. Cepat-cepat, dia berjalan masuk. Mereka berpapasan tepat di ambang pintu.
"Loh, udah selesai brainstrom-nya?" Naka yang setengah kaget bertanya. Anggukan yang disertai dengan senyum palsu di bibir Sabrina bikin dia lega sedikit. "Gimana jadi?"
"Belum ada titik terang. Masih mau brainstrom lagi senin nanti. Budget mereka kecil." Dia melirik Kasa yang masih berdiri di samping Naka. "Kamu mau pergi?"
"Mau mantau syuting sama Kasa. Mungkin selesai malem. Kalo aku nggak sempet mampir ke apart kamu nggak apa-apa ya?" Cowok itu mengusap pipinya. "Tapi nanti aku kabarin."
"Berdua aja?"
"Iya, berdua aja."
Sabrina kembali melirik Kasa. Dia tidak biasa begini sebenarnya—maksudnya, dia paham Naka dan Kasa hanya menjalankan pekerjaan tapi gara-gara percakapan tadi—ah, sial. Pikiran Sabrina jadi kemana-mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Agency [END]
Narrativa generaleSabrina sama Naka itu musuh abadi, orang satu kantor juga tau seberapa parah mereka saling membenci. Tapi siapa yang menduga kalau di balik rasa benci itu, Sabrina justru jatuh hati pada Naka? Di hari terakhir Naka bekerja di Plan B, Sabrina tanpa p...