Act 16

21.6K 1.8K 114
                                    

"Sebentar, di luar hujan. Pake jaket gue aja." Ravel mencegah saat Sabrina hendak membuka pintu mobilnya. Dia langsung berbalik ke kursi belakang untuk mengambil jaket yang dia maksud. "Adanya hoodie ternyata. Ribet nggak pakenya?"

"Nggak usah deh. Gue tinggal lari dikit doang."

"Jangan, nanti pilek. Gini aja pakenya." Ravel menyampirkan tudung hoodienya di kepala Sabrina lantas mengikat kedua bagian lengannya di dekat leher gadis itu. "At least kepala lo nggak kena hujan," ucapnya. Dia geli sendiri melihat bagaimana hoodie itu menutupi kepala Sabrina seperti tudung bayi. Modelnya yang tidak memiliki resleting agak ribet untuk dipakai gadis itu di badan. "You look like a baby," kekehnya.

Sabrina memberengut, menggeser rear view mirror ke arahnya untuk berkaca. Penampilannya agak menggelikan tapi yasudah, toh dia juga mau pulang. Paling nanti di lobi dia hanya bertemu dengan resepsionis dan sekuriti. "Thank's ya, Vel, buat hari ini."

Cowok itu mengangguk. "Telepon gue jangan nggak diangkat lagi ya."

Sabrina hanya mengacungkan jempol. Dia agak lega sedikit mendengar cerita cowok itu tentang masa lalunya walaupun kini otaknya sibuk berpikir Yaya itu siapa.

"Dah, pulang sana. Hati-hati nyetirnya." Gadis itu berpesan sebelum tubuhnya berlarian ke teras lobi apartemen.

Hujan lagi deras-derasnya saat itu. Tapi untunglah Sabrina tidak terlalu kebasahan. Dia lagi sibuk menepis bulir-bulir air di tudung hoodienya ketika Naka memanggil.

Sial, apa dari tadi cowok itu sengaja nungguin dia di lobi? Tapi ngapain anjer?? Kayak kurang kerjaan aja!

Sabrina cuma senyum ramah sewaktu Pak Catur menyapanya. Dia buru-buru menghampiri Naka, menyeret cowok itu ke tempat yang agak sepi. Belum sempat Sabrina buka suara, Naka sudah lebih dulu ngomel-ngomel.

"Itu hoodienya Ravel, kan? Lo suka banget ya pake baju cowok? Kemaren trainingnya Adam, sekarang hoodienya Ravel. Besok punya siapa lagi? Melvin? Nggak sekalian tuh punya anak-anak lantai lima lo pinjem juga??"

"Gue mau pake baju siapa bukan urusan lo." Sabrina mencubit pinggang Naka hingga cowok itu meringis kesakitan. "Kecilin suara. Gue nggak mau kita jadi bahan tontonan."

"Sakit loh, Shabby." Naka mengusap-ngusap pinggangnya yang masih terasa pedas. Kecil-kecil begitu, cubitan Sabrina boleh juga.

"Ngapain kesini?"

"Gue mau menuntut keadilan."

"Keadilan apalagi sih?" Sabrina memutar bola mata. "Udah gue bilang, gue nggak mau ngomong sama lo. Jadi jauh-jauh lo dari gue!"

"Ravel boleh deket-deket." Naka cemberut. "Lo maafin dia sementara gue enggak. Padahal kesalahan gue sama dia sama aja. Ini namanya nggak adil! Kalau mau marah, harusnya lo marah juga sama Ravel."

"Gue marah sama dia."

"Tapi lo maafin dia lebih dulu."

"Ravel udah minta maaf."

"Gue juga udah minta maaf dari kemaren-kemaren."

"Permintaan maaf lo nggak tulus." Sabrina berdecak. "Gue capek. Nggak usah ngajak ribut. Pulang sana."

Naka buru-buru mencegah saat Sabrina hendak meninggalkannya. "Gue harus ngapain biar lo mau maafin gue?"

"Nanti. Gue pikir-pikir dulu."

"Masa iya gue harus bersimpuh di bawah air hujan baru lo mau maafin gue?" Niatnya Naka sih mau salty ya, tapi Sabrina malah menjentikkan jarinya.

"Ide bagus. Coba aja, siapa tau pintu hati gue terketuk."

****

Sabrina baru selesai mandi ketika dia mendapat telepon dari pihak lobi. Ketika dia mengucap halo, suara panik Pak Catur langsung terdengar.

Agency [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang