Act 1

41.4K 3.2K 206
                                    

Sabrina menyugar rambutnya dengan jari-jari. Makin siang, kepalanya makin keriting. Bukan karena tumpukan copy yang harus segera dia selesaikan sebelum due date, tapi karena kehadiran Naka yang hanya berjarak beberapa meja di depannya.

Lantai empat Plan B memang memiliki ruang kerja yang terbuka. Setiap divisi diberi kebebasan untuk memilih tempat duduk yang menurut mereka nyaman. Dengan catatan, mereka harus duduk bersama tim masing-masing untuk mempermudah komunikasi.

Tapi bagaimana bisa Sabrina merasa nyaman di tempat duduknya kalau dia dan Naka duduk berhadap-hadapan?!

Iya sih, Naka sama sekali tidak menggubrisnya setelah insiden fingerprint tadi pagi. Cowok itu, seperti biasa, langsung sibuk bekerja dengan rekan satu timnya. Padahal ini hari pertamanya. Tapi sifat gila kerjanya sama sekali tidak berubah. Satu-satunya yang sedikit berubah dari cowok itu mungkin penampilannya yang sekarang semakin menawan.

Ah, brengsek!

Inget ya, Sabrina, setengah tahun yang lalu lo dilepehin sama dia! Jangan lemah lo goblok.

Tanpa sadar, Sabrina menekan tombol-tombol keyboardnya dengan membabi-buta. Suaranya yang berisik bikin Adam langsung menoleh ke arahnya.

"Ngetik apaan anjir?! Heboh banget."

"Kepo amat jadi tetangga." Sabrina berdecak. Tidak serta merta berusaha menutupi layar laptopnya dari Adam.

"Buset, ngapain nyari loker? Lo mau resign apa gimana?"

"Nggak tau."

"Apanya yang nggak tau?"

"Gue nggak tau harus ngapain makanya nyari loker!!!" Sabrina meraung. Secara dramatis menjatuhkan wajahnya ke atas meja kerja. Rambutnya yang tadi sempat dicatok rapi kini mencuat kemana-mana, menutupi sebagian wajahnya yang kecil.

"Lah, malah tantrum." Adam geleng-geleng, hanya menjengitkan bahunya saat Naka bertanya lewat pandangan.

"Bukan karena gue kan ya? Perasaan kerjaan yang gue kasih ke lo nggak overload deh," tanya Bella tidak enakkan.

"Nggak, itu dia lagi syok aja karena musuh bebuyutannya balik." Bang Keenan tertawa geli. "Santai sih. Naka nggak bakal gangguin lo."

"Tau nih. Orang Naka udah beda divisi." Adam menyahuti. "Ah, iya. Gue ngerti. Masalahnya bukan cuma lo dan Naka yang selama ini macam kucing dan anjing kan ya? Wajar lah wajar, gue paham banget kenapa lo menggila kayak gini."

Sabrina langsung menegakkan tubuhnya. Jari-jarinya kembali menyugar rambut. Kali ini bermaksud merapikan. "Nope."

"Naka bilang gitu tadi."

"Percaya sama Naka menduakan Tuhan."

"Percaya sama lo masuk neraka."

"Menduakan Tuhan juga masuk neraka." Sabrina berdecak. "Gue mau kerja. Nggak usah ganggu. Kecuali lo punya kenalan sales recruiter di Adoor."

Adoor yang dimaksud Sabrina adalah job portal—sebuah website pencari kerja yang biasa diserbu para jobseeker karena proses perekrutannya lebih simple dan serba online. Website semacam itu biasanya memiliki sales recruiter yang berperan sebagai agen dalam merekomendasikan jobseeker dengan portofolio menarik ke perusahaan terkait.

"Biar apa?"

"Ya, biar dia bisa rekomendasiin gue ke perusahaan yang lagi buka loker lah."

"Dih, nepotisme banget lo anjir."

"Bodo amat."

"Lo beneran mau resign emang?"

"Kenapa? Takut nggak ada temen begadang revisi lagi ya?" Sabrina malah meledek. Gadis itu baru juga menutup laman Adoor ketika pop up pesan dari Kasa muncul di layar ponselnya.

Agency [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang