"Mantannya Gia ini," Naka menjeda kalimatnya selagi dia berdecak membaca isi DM yang dikirim Hendrawan ke akun Instagramnya. "Berisik juga ya."
"Dia bilang apa ke kamu?"
"Mau nuntut lah, ngajak duel lah. Nggak sadar dia sendiri yang bonyok sana-sini kemaren."
"Biasanya yang begitu tong kosong sih." Sabrina menyipit saat Naka menyusulnya ke dapur. Tiga kancing kemeja cowok itu dibiarkan terbuka hingga dadanya kemana-mana. "Kenapa kemejanya nggak dikancing?"
"Oh," Naka mengulas senyum tengil. Dia baru pulang kerja. Belum sempat ganti baju. "Bukannya kamu suka?" godanya.
"Nggak ada ya aku bilang begitu." Gadis itu mendelik. Sengaja mendekat hanya untuk menyatukan kembali kancing-kancing kemeja Naka. "Begini aja," katanya tegas.
"Gerah loh, Shabby." Naka protes. Dia meraih pinggang Sabrina agar mendekat. Mumpung gadis itu berada di sekitar jangkauannya. Dari tadi kerjaannya sibuk hilir mudik menyiapkan makan malam mereka. Naka merasa diabaikan.
"Mau ngapain?"
"Recharge bentar," gumamnya. Cowok itu mencuri satu kecupan dari bibirnya lalu tersenyum senang. Mirip anak kecil yang baru diberi permen. "Aku kayaknya perlu sering-sering recharge deh tiap pulang kerja. Biar nggak tegang," katanya beralasan.
"Itu mah modusnya kamu doang."
"Bener loh, Shabby. Kamu nggak tau aja orang-orang di lapangan suka bikin naik darah. Otot-ototku yang tegang ini perlu dilemesin sama kamu." Tadinya, Naka berniat mencium lagi. Wajahnya sudah menunduk tapi gerakannya terhenti ketika sebuah suara menginterupsi.
"Maaf tapi lovey-dovey-nya bisa ditunda dulu nggak?" Itu suara Kasa. Kehadirannya disusul oleh Ravel dan Adam.
Sabrina meringis malu karena tertangkap basah. Dia berniat meloloskan diri tapi Naka justru balik merangkul pundaknya. Seperti sengaja betul menandai dirinya sebagai milik cowok itu di depan Adam dan Ravel. Oh, yang benar saja!
"Mau bilang jangan mesum di tempat umum tapi ini memang bukan tempat umum." Adam menambahi sementara Ravel hanya menunjukkan geli. "Sori tadi nyelonong masuk. Salah sendiri kenapa nggak ganti password."
"Dia kenapa ikut?" Naka menunjuk Ravel malas. Mereka cuma akur saat menghajar Hendrawan malam itu.
"Dia kenapa ikut? Lo kemaren tonjok-tonjokan ditemenin siapa kalo bukan Ravel?" Adam balik bertanya. Belum juga dipersilahkan, dia sudah duduk duluan di atas stool. "Ini buat kita-kita? Pas banget gue belum makan." Terus seperti tuan rumah, dia mengajak Ravel dan Kasa turut serta. "Makan dulu, ges. Capek-capek yang punya rumah nyiapin ini buat kita, kalo nggak dimakan kan kasian."
"Lo bikin honey garlic chicken?" Kasa mengambil garpu untuk mencicip potongan ayam yang disiram dengan olahan saus dicampur madu. Adam beda lagi. Dia sudah mengambil piring dan nasi duluan.
"Nggak tau tadi mau bikin apa. Kebetulan ada ayam di kulkas yaudah gue bikin ini aja. Enak?"
"Enak," katanya sambil mengangguk. "Udah lama banget nggak bikin ini. Beneran buat kita-kita?"
"Belum makan, kan? Gue bikin karena kalian pada mau ngumpul di sini," sahut Sabrina. Mereka mau membahas masalahnya Hendrawan. Cowok itu betulan menuntut mereka. Untungnya, dia belum koar-koar di media sosial.
Area pantry tidak cukup untuk menampung mereka berlima jadi mereka pindah ke ruang tengah.
"Soal Hendrawan, gue udah ngomong sama pengacara keluarga gue. Video cctv di Silver Crown juga udah gue kasih sebagai bukti," ucap Ravel. "Apa yang dia lakuin ke Kasa, Gia sama Bina itu tergolong kekerasan terhadap perempuan. Kita nonjok dia sebagai bentuk perlawanan. Walaupun kesannya kayak ngeroyok tapi bisa diurus nanti. Jadi kalo ada panggilan nggak usah takut. Hendrawan tuh aslinya pengecut."

KAMU SEDANG MEMBACA
Agency [END]
General FictionSabrina sama Naka itu musuh abadi, orang satu kantor juga tau seberapa parah mereka saling membenci. Tapi siapa yang menduga kalau di balik rasa benci itu, Sabrina justru jatuh hati pada Naka? Di hari terakhir Naka bekerja di Plan B, Sabrina tanpa p...