"Sarapannya mau turun ke bawah atau minta anterin ke kamar aja?" Naka meletakkan botol mineral di atas pantry. Sengaja menghampiri Sabrina yang lagi bercermin di sana untuk meraba-raba suasana hati gadis itu.
Semalam, Sabrina mau dipeluk. Gadis itu tertidur di dalam dekapannya hingga pagi tapi Naka tidak berkekspektasi lebih. Dia mana berani. Sebab apa yang sempat dikiranya sudah selesai, justru meninggalkan luka untuk gadis itu.
"Turun aja. Aku bosen di kamar."
"Oke."
"Kamu mau ke mana?" Sabrina menoleh. Naka jadi urung balik ke kasur. Tadinya dia berniat mengecek pekerjaan sebentar selagi Sabrina bersiap-siap. Barusan ada email masuk soalnya.
"Nggak ke mana-mana." Ponselnya dia kantongi lagi ke celana. Kembali menghampiri Sabrina yang masih berkaca di meja pantry. "Kenapa? Kamu butuh sesuatu?"
"Kepangin rambut aku, mau?" tanya gadis itu ragu. Naka tersenyum kecil. Dia mendekat, meraih rambut Sabrina untuk disisir dengan jemarinya.
"Of course. What princess wants, princess gets," ucapnya manis. "Mau dikepang kayak waktu itu?" Sabrina mengangguk. Kepang sesimple itu bisa dia lakukan sendiri. Tapi, Sabrina mau Naka ada di dekatnya. Dia mau Naka berinteraksi dengannya. Alasannya sederhana, dia tidak mau Naka terus-terusan merasa bersalah. "Mau dikasih pita? Tapi kayaknya nggak masuk ya sama baju kamu."
"Nggak usah dikasih pita."
"Siap, tuan putri."
"Apa deh." Sabrina mencubit kecil pinggang Naka tapi bukannya kesakitan cowok itu malah terkekeh. Sabrina memberengut. Dia berbalik. Naka pikir gadis itu akan mengomel karena tawanya yang menyebalkan. Tapi ternyata dia salah. Sabrina memeluknya. Naka agak kaget sedikit.
"Loh, aku pikir kamu mau marah?" tawanya mereda. Berganti dengan senyum seraya membalas peluk. "Kenapa?"
"Nggak apa-apa."
"Nggak apa-apa tapi tiba-tiba meluk?" Sebelah alis Naka berjengit heran.
Sabrina mendongak untuk memandangnya. "Nggak boleh?"
"Boleh, sayang. Boleh banget. Aku kan punya kamu." Naka membelai rambutnya. "Tapi kenapa?" Dia tidak menemukan emosi yang berarti ataupun sendu yang mengganggu dari sorot mata cantik itu. Hanya saja, Sabrina yang seperti ini membuatnya bertanya-tanya.
"Cuma mau kamu tau kalo aku udah nggak marah."
"Ya?"
"Aku udah nggak marah lagi sama kamu," ulangnya. "Kamu nggak perlu ngerasa bersalah sampai segitunya. Aku baik-baik aja."
Sejenak, Naka bingung harus merespon bagaimana tapi perlahan senyumnya mengembang. "Shabby, kamu tuh kenapa sih bisa banget bikin aku makin sayang sama kamu?" ucapnya gemas. "Pengen aku karungin."
"Bukan kucing." Sabrina menonjok dadanya. Naka tergelak.
"Oke, iya. Kamu bukan kucing tapi lucu, gemes. Tapi kalo lagi ngomel sih amit-amit ya," guraunya.
"Dah, ah males." Sabrina berdecak. Niatnya ingin melepaskan diri dari Naka tapi cowok itu menahannya. Tubuhnya terkurung di dalam peluk.
"Nanti dulu," tahannya. "Aku serius waktu aku bilang aku bakal mengusahakan semuanya buat kamu."
****
Surabaya diguyur hujan jadi sehabis sarapan mereka balik ke kamar. Agenda jalan ke kota tua pupus sudah. Padahal Sabrina sudah berdandan ala-ala vintage biar kesannya makin estetik. Lumayan, foto-foto di sana akan mempercantik tampilan feeds Instagramnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Agency [END]
General FictionSabrina sama Naka itu musuh abadi, orang satu kantor juga tau seberapa parah mereka saling membenci. Tapi siapa yang menduga kalau di balik rasa benci itu, Sabrina justru jatuh hati pada Naka? Di hari terakhir Naka bekerja di Plan B, Sabrina tanpa p...