Waktu pulang kantor, Naka sudah kepikiran mau mampir ke apartemennya Sabrina buat ngecek keadaan cewek itu. Tapi gimana ya? Naka masih bawaan bete gara-gara Sabrina lebih milih Melvin. Jadi yaudah, akhirnya dia pulang ke rumah.
Pulang ke rumah juga rasanya nggak tenang. Soalnya terakhir kali penyakit asam lambungnya kambuh, Sabrina sampai harus dirawat di Rumah Sakit segala. Naka kepikiran tapi tetep aja gengsinya ketinggian.
Menjelang malam, Naka nggak sengaja liat updatean Sabrina di story WhatsApp. Storynya cuma berisi emot muntah tapi cukup bikin Naka melesat secepat kilat ke apartemen cewek itu.
Dia tiba setengah jam kemudian. Tertahan di lobi karena tidak memiliki kartu akses untuk masuk. Naka sudah menghubungi Sabrina sebanyak dua kali tapi selalu berakhir dengan suara operator yang mengatakan kalau nomor gadis itu sedang sibuk. Pada panggilan ketiga, baru lah Sabrina menjawab.
"Halo, siapa?"
Naka memejamkan mata, menarik napasnya dalam-dalam. Dia tau Sabrina menyimpan nomornya. Gadis itu hanya sedang ingin bermain-main dengan menguji kesabarannya.
"Inisial N yang pengen lo cursing tiap hari."
"Oh, tapi gue lagi nggak pengen cursing. Lagi nggak punya tenaga juga. Udah dulu ya."
"Sabrina," Naka menyabarkan diri. "Jangan ditutup dulu. Gue di lobi."
"Nggak nanya."
"Ngasih tau."
"Nggak pengen tau."
"Nggak apa-apa asal gue boleh ketemu."
MELAS BANGET??
Kalau kayak gini kan jadi Sabrina yang deg-degan. Gadis itu akhirnya berdeham setelah perasannya dibikin nano-nano. "Minta anterin sekuriti aja. Nanti gue yang konfirmasi ke lobi."
Untung nggak lama setelah itu, Naka berhasil tiba di unitnya. Gadis itu lagi tiduran di sofa waktu Naka masuk. Pakai piyama motif Sinchan dengan rambut tergerai dan wajah yang pucat.
Televisinya sedang menampilkan serial Netflix. Tapi ketimbang nonton TV, rasanya justru TV yang menonton Sabrina. Dia kelihatan tidak punya gairah. Mirip seperti orang yang mati segan hidup tak mau.
"Gue telepon-telepon kenapa lama nggak diangkat?"
"Berarti situ bukan prioritas."
Naka bergerak mendekat, menempelkan punggung tangannya di kening Sabrina. Agak panas pantas mukanya sepucat itu. "Teleponan sama siapa? Ravel?"
"Iya."
"Yang kayak gitu lo prioritasin?"
"Yaiyalah. Masa lo yang bukan siapa-siapa gue yang harus gue prioritaskan?"
Naka merasa tertohok tapi nggak bisa berhenti salty. "Ngakunya pacar tapi ceweknya sakit cuma bisa teleponan."
"Nggak apa-apa. Seru juga buat kangen-kangenan."
Tau nggak? Ibarat air yang lagi direbus, Naka sudah sampai di level mendidih. Telinganya memerah karena menahan cemburu.
"Kayak bocil SMP aja."
"Daripada udah tua tapi nggak punya pacar."
"Kalau badan lo nggak panas gue nggak bakal percaya lo sakit." Naka berdecak. "Obatnya diminum nggak?"
"Diminum." Sabrina menggumam. Napasnya tertarik pelan seiring dengan rasa mual yang bergejolak di perut. "Kalau udah selesai nanya-nanya, lo boleh pulang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Agency [END]
General FictionSabrina sama Naka itu musuh abadi, orang satu kantor juga tau seberapa parah mereka saling membenci. Tapi siapa yang menduga kalau di balik rasa benci itu, Sabrina justru jatuh hati pada Naka? Di hari terakhir Naka bekerja di Plan B, Sabrina tanpa p...