Act 43

17.1K 1.4K 102
                                    

"Wajar Naka nggak bisa santai tiap ketemu sama lo. Gue jadi dia malah bakal nonjok lo sampe mampus."

Ravel tidak pernah membantah ucapan bernada serius ataupun guyonan dari Reska. Sebab dia tau dia memang pantas dihajar untuk semua pengkhianatan yang telah dia lakukan. Tapi Naka—temannya yang konon menyimpan dendam karena kekasihnya dulu dia rebut—tidak pernah menyalurkan emosi itu. Kecuali beberapa hari yang lalu, ketika Sabrina marah pada mereka semua.

Mungkin karena emosinya selama ini sudah bertumpuk-tumpuk atau mungkin karena yang kemarin itu berhubungan dengan Sabrina makanya Naka sampai kelepasan.

Tapi yang kemarin itu, bukan apa-apa. Sakitnya hanya sesaat. Ravel merasa pantas mendapat sesuatu yang lebih untuk membayar rasa bersalahnya. Makanya dia mengundang Naka ke club boxing tempatnya biasa berlatih sejak bertahun-tahun yang lalu.

Sejak dia putus dari Kasa.

"Jadi ini semacam generalisasi dari cowok yang menyelesaikan masalah dengan otot?"

Ravel mengulas senyum yang kelewat jenaka saat Reska mengomentari rencananya. Tengil sekali sampai Reska dibikin geleng-geleng kepala.

"Sampe lo beneran mampus gimana?"

"Berarti selama ini gue nggak cukup mengenal dia." Ravel menjawab enteng. Dia tau Naka. Teman lamanya itu mungkin akan menghajarnya tapi tidak akan membuatnya babak belur sampai menjumpai ajal.

"Semoga gue nggak harus jenguk lo ke rumah sakit lah ya. Ngerepotin." Reska menepuk pundaknya sebelum berlalu pergi. Dia tidak berniat menonton 'pertandingan' amatir itu. Malas ikut campur apalagi sampai dikenai tuduhan memprovokasi.

Selang setengah jam, Naka muncul di tempat itu. Persis seperti perhitungan Ravel sebelumnya. Setengah jam, jarak dari Plan B kemari.

"Boxing?" Naka menjengitkan alisnya, tidak mencemooh. Dia hanya mengamati tempat ini. Ada ring tinju. Ravel berada di dalamnya. Juga samsak di sudut ruangan yang dulunya pernah jadi tempat pelampiasan Ravel—sasaran untuk kemarahannya pada diri sendiri. "Ini sarang lo?"

"Let's fight." Ravel melempar sepasang sarung tangan dari atas sana untuknya. "Gue udah nunggu dari tadi."

Naka menangkap lemparan itu, masih mengamati sekeliling sambil berjalan mendekat. Ravel sengaja mengosongkan tempat ini untuk mereka berdua. Oh, romantis sekali. "Gue nggak paham untuk alasan apa lo ngundang gue ke sini."

"Giving you a chance to beat me. Selama ini selalu kalah kan?" Ravel menyeringai. Sebuah seringai yang menyentil Naka untuk naik ke dalam ring. Dia melepas kemeja outernya di pinggiran ring, berikut dengan ponsel yang tadi masih dikantunginya.

"Terus apa yang bakal gue dapatkan seandainya gue menang?" Karena sejujurnya, Naka tidak butuh apa-apa lagi selain Sabrina. Pun begitu, dia tetap memasang sarung tinju di tangannya—hanya untuk berjaga-jaga.

"Feeling of relief?" Ravel mengambil kuda-kuda, melayangkan satu pukulan meleset karena Naka sigap mengelak. "You need to kick or you will get kicked," ejeknya. "Stop being a loser."

"Sebenarnya lo sendiri sadar lo yang loser." Naka tidak tertarik dengan permainan ini sebetulnya. Ravel yang ada di hadapannya saat ini hanya Ravel yang menanggung rasa bersalah. Ravel yang berusaha membayar semua pengkhianatannya—yang sebenarnya, tidak Naka butuhkan. Karena sekali lagi, peduli setan dengan orang-orang di masa lalunya, Naka yang sekarang hanya ingin menata hidupnya menjadi lebih baik untuk Sabrina.

Tapi Ravel sudah repot-repot mengundangnya kemari, kan? Naka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan padanya. Jadi dia melayangkan pukulan, berlanjut dengan tendangan yang tidak bisa dihindari Ravel.

Agency [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang