Jam makan siang, Kasa sengaja mampir ke cafe milik temannya. Cafe itu baru dibuka sekitar satu bulan yang lalu tapi Kasa belum sempat mampir karena terlalu sibuk. Temannya terus merengek, memintanya untuk berkunjung tapi baru siang ini dia punya waktu luang.
Mendekati meja kasir, Kasa memesan Hazelnut Latte dan Croissant. Dia melirik sekitar selagi pesanannya dicatat oleh mesin. "Leia ada?"
"Bu Leia barusan pergi sepuluh menit yang lalu, Kak. Ada yang mau disampaikan?"
"Nggak ada sih. Kebetulan saya temannya." Kasa menjawab disertai senyum. Salah dia juga tadi tidak menghubungi Leia terlebih dahulu.
"Bu Leia kemungkinan balik kesini lagi sekitar jam tiga, Kak. Untuk pesanannya apa ada lagi?"
"Itu aja cukup." Kasa membuka dompetnya, berniat membayar ketika tangan lain menyodorkan sebuah kartu dari arah belakang.
"Americano satu ya. Gabung aja sama orderan mbak ini."
Kasa yang terlonjak refleks melirik ke belakang. Di sana dia menjumpai Ravel. Cowok dengan kemeja biru muda itu hanya tersenyum kala membalas tatapnya. "Mau ketemu Leia ya?"
Well, teknisnya Leia adalah temannya semasa kuliah. Wajar kalau Ravel juga mengenalnya. Tapi masalahnya, tau dari mana Ravel dia ada di sini? Leia saja tidak diberi tau kalau Kasa akan berkunjung.
Oh, sebentar. Kenapa Kasa jadi kege-eran begini?
Bisa saja mereka memang ketemu secara tidak sengaja.
"Kasa?" Ravel menjentikkan jarinya untuk menyadarkan gadis itu. "Jangan ngelamun," ucapnya. "Gue abis survey lokasi nggak jauh dari sini. Jadi mampir bentar buat beli kopi. Lo dari kantor?"
Kasa mengangguk. Ini aneh sekali tapi dia agak kecewa dengan jawaban Ravel—tunggu, memangnya dia mengharapkan apa? Sadar dong, Kasa. Ravel sudah jelas-jelas bilang kalau dia habis survey. Kenapa malah ngarep cowok itu kesini buat ketemu sama lo?
Dan inget ya, lo yang selalu dorong Ravel menjauh setiap kali dia berniat mendekat. Tolong jangan jadi orang yang plin-plan. Hati kecil Kasa berteriak menyadarkan. Tapi kehadiran Ravel di sekitarnya terlalu sulit untuk diabaikan.
Mereka berpisah di saat dia masih begitu menyayangi laki-laki itu. Sengatan pedihnya masih terasa hingga kini tapi rindu itu bukan sesuatu yang bisa dia hindari.
"Pinnya, Kak." Ravel menekan enam digit angka untuk menyelesaikan proses transaksi. Kartunya dikembalikan begitu selesai.
"Punya lo udah sekalian gue bayar. Today's treat," katanya. "Mau duduk nggak?"
Lagi-lagi, Kasa mengangguk seperti robot. Bayangan Ravel memeluknya malam itu masih sering menghatuinya. Terasa hangat. Begitu dekat. Tapi tidak mampu untuk dia raih.
"Bagi rekening. Gue mau transfer uang kopi sama croissant tadi." Kasa menyerahkan ponselnya tapi bukannya mengetikkan serangkaian nomor rekeningnya, Ravel justru menyimpan kontaknya di ponsel gadis itu.
"Gue nggak mau dibayar pake duit. Kalo ngerasa nggak enak, kapan-kapan traktir gue aja. Tinggal chat atau telepon." Dia mengembalikan ponsel itu pada Kasa. "Abis dari sini mau balik ke kantor?"
"Iya."
"Kerjaan masih banyak?"
"Enggak juga."
"Nanti malem mau gue jemput?"
"Boleh—eh," Kasa tersadar. Dia mengangkat kepala untuk menatap Ravel yang kini tersenyum.
"Gue mau futsal sama anak-anak cowok kantor lo. Tempat futsalnya merangkap cafe. Cozy. Bisa sekalian nonton. Gue jemput ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Agency [END]
General FictionSabrina sama Naka itu musuh abadi, orang satu kantor juga tau seberapa parah mereka saling membenci. Tapi siapa yang menduga kalau di balik rasa benci itu, Sabrina justru jatuh hati pada Naka? Di hari terakhir Naka bekerja di Plan B, Sabrina tanpa p...