"I like you but I don't want to hurt you. That is why we can't be together."
Sabrina sempat kehilangan kata-kata. Pengakuan Naka membuat tangannya menjauhi rambut cowok itu. Mereka terjebak oleh hening sampai gadis itu tiba-tiba bergerak, turun dari sofa. "Gue mau tidur. Kalau pulang nanti televisinya tolong dimatiin."
Malam itu, Sabrina mendapat penolakan untuk ketiga kalinya. Segala hal tentang Naka penuh dengan misteri. Cowok itu seakan membawanya pada roller coaster tak berujung. Sedikit-sedikit dia dibuat senang, sedikit-sedikit dia dihempaskan ke tanah. Sabrina sudah lelah.
Dia menghindari Naka selama berhari-hari tapi karena urusan pekerjaan yang masih berhubungan, mereka kembali bertemu di sebuah meeting. Masih dengan pembahasan tentang Primrose yang belum juga usai.
"Oiya, hari ini katanya Ravel mau survey lokasi syuting. Ada yang lagi kosong nggak buat ikut dia sebagai perwakilan dari kita? Gue mau visit klien soalnya." Bang Tama mengedarkan pandangan hingga matanya menangkap Sabrina yang sibuk coret-coret kertas. "Bina kosong nggak?"
"Shabby nggak bisa, Bang. Dia ada tanggung jawab lain. Nggak enak juga sama anak-anak Creative kalau kita keseringan minjem anggota mereka apalagi buat urusan di lapangan." Naka menyela sebelum Sabrina sempat menjawab.
"Gue bisa kok. Jam berapa emang?"
"Nggak, lo abis sakit. Stay di kantor aja." Naka menolak tegas. Tidak jelas apakah dia mengatakan itu karena dia betul-betul peduli atau hanya karena dia tidak ingin Sabrina bertemu Ravel. Tapi apapun itu, tindakannya berhasil memicu Sabrina untuk membantah.
"Abis sakit bukan berarti gue nggak bisa ngapa-ngapain. I am totally fine. Lagian, itu cuma survey lokasi."
"Survey lokasi itu nggak sesederhana yang lo pikir. Bisa dari satu tempat ke tempat lainnya dan bisa jadi memakan waktu yang cukup banyak."
"Please, gue juga tau soal itu."
"Kalau sudah tau harusnya lo cukup bijak untuk memilih stay di kantor mengingat kondisi lo yang baru juga pulih."
"Oke, cukup." Bang Tama menengahi. "Naka benar. Emang baiknya bukan lo yang turun ke lapangan. Gue juga nggak enak sama Keenan kalau harus minjem anak buahnya lagi. Sori ya, Bina. Jadi siapa yang mau nemenin Ravel hari ini? Kayaknya dia bakal jemput ke sini sebelum jam makan siang."
"Gue aja. Gue lumayan senggang hari ini." Kasa mengajukan diri. Keputusannya itu menuai pandangan penuh peringatan dari Naka.
"Lo bakal pergi berdua sama Ravelio."
"Ravelio Easter, kan? Gue tau. Kebetulan gue juga kenal sama dia." Kasa menyahuti. Gadis itu beralih pada Bang Tama. "Gue aja yang pergi, Bang."
"Oke, case closed. Kasa yang bakal pergi bareng Ravel sebagai perwakilan dari kita." Bang Tama menutup meeting hari itu. "Gue duluan ya. Mau langsung visit klien. Kasa tunggu kabar dari gue aja. Nanti gue kasih tau kalau Ravel udah otw ke sini."
"Oke."
"Lo serius mau ketemu Ravel lagi?" Naka bertanya sepeninggalan Bang Tama. Mereka hanya bertiga di ruangan itu. Secara tidak langsung bikin Sabrina merasa seperti orang bodoh yang tidak mengerti isi percakapan mereka.
"Nggak pernah lebih serius dari ini."
"Kasalira,"
"Gue perlu ketemu Ravel."
"Lo tau dia gimana—"
"Gue tau dia gimana makanya gue mau ketemu sama dia."
"You, guys, talking about my boyfriend as if I am not here." Sabrina menyela. Dia memandangi Naka dan Kasa bergantian. Kedua manusia itu lagi bersitegang. Sejenak mengingatkan Sabrina pada bagaimana Naka bersikap kepadanya setiap kali dia membicarakan Ravel. Lantas, kesadaran seakan menghantamnya dengan telak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Agency [END]
Ficción GeneralSabrina sama Naka itu musuh abadi, orang satu kantor juga tau seberapa parah mereka saling membenci. Tapi siapa yang menduga kalau di balik rasa benci itu, Sabrina justru jatuh hati pada Naka? Di hari terakhir Naka bekerja di Plan B, Sabrina tanpa p...