Act 26

14.4K 1.1K 33
                                    

Sabrina menekan bel dengan susah payah gara-gara kerepotan membawa enam kaleng bir di dalam pelukannya. Adam belum juga merespon jadi dia menekan lagi secara membabi buta. Mau nyelonong masuk seperti biasanya mana mungkin. Mereka kan lagi musuhan. Jadi Sabrina harus sabar menunggu.

Cowok itu akhirnya muncul setelah Sabrina merecoki belnya berkali-kali.

"Ada apa?"

Ouch, dingin sekali.

"Ada Adam nggak?"

"Nggak ada." Pintu itu nyaris saja ditutup kalau Sabrina tidak dengan gesit menyelipkan salah satu kakinya di antara celah yang tersisa. "Lo gila ya?!" Adam menghardik. Mata cowok itu membulat karena marah. "Kalau kaki lo kejepit gimana?"

"Faktanya kaki gue nggak kejepit," balas Sabrina. "Gue datang sebagai tamu yang beradab hari ini. Biarin gue masuk."

"Mau ngapain?"

"Ngobrol dari hati ke hati." Gadis itu langsung menyelip masuk meski Adam belum memberinya izin. "Gue bawa bir. Nggak banyak-banyak amat tapi kayaknya cukup." Dia sudah selonjoran duluan di ruang tengah Adam, membuka sekaleng bir untuk dirinya sendiri.

"Gue nggak bilang gue setuju."

"Kalau nggak sekarang mau kapan lagi?" Sabrina meneguk birnya. "Sini. Habis kita ngobrol, terserah lo mau benci sama gue apa enggak."

Adam akhirnya ikut duduk. Dia juga membuka sekaleng bir untuk dirinya sendiri. Mereka menatap kosong pada layar televisi yang menampilkan gelap. Tidak ada suara yang terdengar kecuali suara dari bir yang mereka teguk.

"Gue minta maaf." Sabrina mencicit. "Gue sadar kata-kata gue keterlaluan."

"You don't have to."

"I have to." Sabrina memainkan telunjuknya pada permukaan kaleng. "Lo suka sama gue tapi gue nggak pernah sadar. Gue ingin meminta maaf untuk itu. Tapi mau bagaimana pun, gue nggak bisa memandang lo lebih dari seorang teman. Bukan karena Naka tapi karena lo terlalu berharga. I love the idea that we are bestfriend. Bestfriend are never apart. Bestfriend never die."

"Gue juga nggak pernah bilang karena tau lo akan berpikiran kayak gini." Tanggapan Adam membuat Sabrina meliriknya. "I am just a bestfriend to you. No matter what."

"I am sorry."

Adam terkekeh. Kali ini bukan kekehan sumbang seperti malam itu. Matanya yang memandang Sabrina menahan geli. "Minta maaf terus. Lebaran masih lama," ejeknya. Hidung cowok itu mengerut. "Sorry, I just couldn't help it. Falling for you was beyond my control."

"No one can stop themselves from falling in love." Sabrina minum lagi. Kepalanya terasa agak ringan setelah meneguk bir. "Gue pun nggak bisa ngelarang lo melakukannya. Sayangnya, gue nggak bisa membalas dengan perasaan yang sama."

Adam tersenyum tipis. Dia membuka sekaleng bir lagi, meneguknya untuk yang kesekian kali. Minum bir dua sampai tiga kaleng tidak akan membuatnya tumbang. Dia tidak sepayah itu. Hatinya saja yang payah.

"Gue nggak bermaksud jadi party pooper. Pengakuan gue terjadi secara spontan. Mungkin karena terlalu emosional." Cowok itu mentertawai dirinya sendiri. "Gue memendamnya terlalu lama sampai akhirnya meledak. I am sorry," ucapnya tulus. "Tolong jangan merasa terbebani. I don't want to lose you either—as a friend, of course."

Sabrina mendengarkan setiap kata-katanya. Tidak menyela. Tidak mengejek. Perasaan sedihnya karena mereka terjebak di situasi seperti ini lebih mendominasi.

"Oh, iya. Gue juga harus minta maaf untuk yang satu ini." Sebelah alis Sabrina berjengit sementara Adam melanjutkan. "Gue nggak menyesal sudah mengakui perasaan gue ke lo."

Agency [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang