Mampus. Mampus. Mampus.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 09.05 pagi. Padahal seharusnya aku ada kelas tepat pukul 09.00. Ditambah lagi, dosen Elemen Mesin ini termasuk killer. Toleransi telat hanya lima menit.
Mampus. Mampus. Mampus.
Aku bersiap dengan kelabakan sambil merapalkan satu kata tersebut. Mandi, skip. Gosok gigi, done. Cuci muka, done. Semprot parfum, done.
Segera kusambar tasku, yang entah apa saja isinya aku tidak ingat. Keluar dari kamar kos dan menghampiri Bapak Gojek yang telah menungguku dari lima menit lalu—kupesan tepat ketika aku bangun dari tidur dan menyadari kebodohanku.
Saat-saat seperti ini memang ojek online sangat kubutuhkan. Apalagi jika dibandingkan dengan menggunakan mobil yang tidak bisa salip menyalip.
"Ngebut, ya, Pak. Saya udah telat," pesanku pada Bapak Gojek ketika telah duduk di jok belakang.
Bapak Gojek yang murah senyum itu menjawab dengan sedikit tergelak. "Siap, Mbak."
Sepanjang perjalanan, aku hanya berdoa semoga Pak Ismail, dosenku, telat. Mobilnya mogok, ban bocor, sabunnya licin lepas terus, tersedak sarapan. Apa pun kemungkinan yang dapat memperlambat keberangkatan Pak Ismail terus kusemogakan.
Sampai di kampus, aku dengan sigap turun dari motor dan berlari memasuki gedung perkuliahan. "Makasih banyak, Pak," teriakku sambil lalu.
Jam di tangan kiriku telah menunjukkan pukul 09.25. Dengan napas yang putus-putus, aku tiba di kelasku yang berada di lantai dua. Ternyata Tuhan belum sebaik itu padaku.
Perkuliahan telah dimulai. Pintu telah tertutup rapat. Dengan napas yang masih patah-patah, aku mengintip ruang kelas melalui kaca persegi panjang yang ada di pintu.
Mampus. Mampus. Mampus kuadrat.
Seperti belum cukup kesialanku tidak bisa mengikuti kelas, ternyata Pak Ismail memutuskan untuk mengadakan kuis. Kepalaku pening seketika.
Anggap aku berlebihan, tapi aku paling tidak bisa mentolerir jikalau masalah akademik. Aku bukanlah orang yang ambisius, tapi aku akan kecewa setengah mati jika tidak dapat mencapai target atau ekspektasiku sendiri. Akademik menjadi salah satunya.
Aku sudah layaknya setrika sedang dipakai, maju mundur, kanan kiri, bergerak tanpa tujuan. Kenapa juga aku melakukan ini? Tidak akan mengubah apa pun juga.
Dengan membuang napas panjang, aku berjalan menjauhi kelas. Aku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku ikuti saja ke mana kakiku akan membawa pergi.
Udah kaya pujangga aja lo, Re.
Berawal dari tanpa tujuan, akhirnya aku sampai di selasar gedung pusat fakultas teknik—gedung yang berisi tata usaha, akademik, ruang seminar, dan ruang semacamnya untuk kebutuhan fakultas. Aku mendudukkan pantatku di salah satu kursi yang disediakan. Tepat pada saat itu, pesan masuk dari Nada.
Nada Imoet
udah kelar kelas?
Aku mendecak. Dasar bocah tidak peka. Tidak perlu, lah, mengingatkan tentang keteledoran yang kulakukan.
Regen
gue madol
sekali2 jadi berandal
Nada Imoet
ngigo kau?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteriously Matched
RomanceRegen tidak suka sesuatu hal yang rumit. Akan tetapi, seakarang ini ia dihadapkan dengan persimpangan; masa lalu yang muncul kembali tanpa aba-aba, masa depan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan, dan seorang anonim yang mampu mengalihkan perhatia...