"Siapa lawan siapa tadi?" tanya Mahesa yang sedang celingukan mencari area kosong guna memarkirkan mobil.
"Mesin sama TETI," jawabku sambil membalas pesan Alika.
"Elektro?" Mehesa sibuk memajukan dan memundurkan mobil untuk menyesuaikan ruang kosong.
Aku mengangguk. "Sama TI."
Sudahkah aku memberitahukan kepada kalian bahwa minggu ini telah dimulai pekan olahraga dan seni di fakultas. Kami lebih sering menyebutnya sebagai FORSENIK—nama resmi dari BEM juga—alias Festival Olahraga dan Seni Fakultas Teknik.
Hari ini adalah jadwal pertandingan yang banyak dinanti, yaitu basket. Karena telah berjalan beberapa waktu, hari ini adalah jadwal untuk babak perempat final.
"Nanti mojok aja, ya. Males aku kalau ketemu anak jurusan." Aku meringis.
Mahesa yang telah melepas seatbelt menatapku dengan tersenyum. "Kenapa? Kan seru. Gue aja kadang pengen."
Aku menggeleng cepat dengan kening yang berkerut. "Udah tua masih aja ikut supporteran. Biar yang muda-muda aja."
"Dih, berasa udah tua banget."
Kami keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk gedung olahraga milik kampus.
"Ya dibanding sama anak semester dua ya itungannya udah tua ini," balasku.
Mahesa tergelak dan mengacak rambutku.
Saat kami masuk, pertandingan telah dimulai. Aku tidak begitu memperhatikan waktu yang telah berjalan. Aku terlalu fokus untuk mencari kursi kosong di antara lautan mahasiswa. Di sisi timur lapangan terdapat gerombolan mahasiswa berkaos hitam sedang bersemangat mengeluarkan suara dukungan. Di sisi lain, gerombolan mahasiswa dengan seragam kaos biru juga tengah berteriak memperlihatkan urat lehernya.
Naik ke podium yang ada di sisi utara lapangan, aku menemukan kursi kosong di pojok kanan atas. Untung saja tempat yang kosong sesuai dengan keinginanku, yaitu jauh dari daerah mahasiswa Teknik Mesin. Aku tidak ingin tiba-tiba diseret oleh orang yang aku kenal untuk ikut berteriak-teriak.
"Kamu kenal semua itu yang main?" tanya Mahesa ketika kami telah duduk.
"Hmm..." Aku memperhatikan para mahasiswa yang tengah berlarian memenuhi lapangan. "Ada yang kenal, ada yang keknya adik tingkat, ada yang tahu aja."
Mahesa hanya menganggukkan kepala. "Seru, ya, kalau porseninya anak Teknik. FEB mana ada kaya gini."
"Masa, sih?" Aku menoleh ke arahnya.
"Ada, sih, tapi kayanya nggak serame ini. Makanya, gue suka nonton tuh kalau udah anak Teknik, Vokasi, atau nggak Kehutanan. Nunggu ributnya." Mahesa tergelak.
Aku tertawa. "Bener, sih. Malu gue kadang. Nggak bisa kalem gitu."
"Sejak awal yang dateng buat supporteran juga bukan yang kalem, Re. Ada, sih, tapi paling berapa doang."
Aku mengangguk setuju. "Bener juga."
Setelah itu, aku dan Mahesa fokus dengan pertandingan yang sedang berlangsung, sambil sesekali mengobrol. Temanya tidak jauh-jauh dari orang yang ada di lapangan atau bahkan bangku penonton. Istilah gampangnya adalah ghibah.
Aku menikmati pertandingan yang ada. Beberapa kali terjadi konflik kecil di lapangan, membuat para pendukungnya bersorak-sorai memancing provokasi.
Akan tetapi, ketenanganku untuk memperhatikan pertandingan dengan seksama sepertinya tidak bertahan lama. Ada 'gangguan' yang mencoba mengalihkan fokus dan perhatianku dari lapangan. Di row paling depan, sebelah kiri dari posisiku duduk saat ini, ada seseorang yang sangat aku kenal. Aksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteriously Matched
RomanceRegen tidak suka sesuatu hal yang rumit. Akan tetapi, seakarang ini ia dihadapkan dengan persimpangan; masa lalu yang muncul kembali tanpa aba-aba, masa depan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan, dan seorang anonim yang mampu mengalihkan perhatia...