What a mess.
Hal tersebut adalah reaksiku pertama kali ketika melihat cermin di sore hari ini. Dari pagi aku tidak beranjak dari kasur. Mataku tidak bisa terbuka sepenuhnya akibat sembab hasil menangis semalaman. Aku bahkan tidak masuk kelas pagi dan siang ini.
Kalimat yang kulontarkan semalam untuk mengakhiri hubungan aku dan Mahesa masih terpatri jelas di ingatan. Bagaimana rasa sakit dan terluka yang meski ia berusaha menyembunyikan, kentara di wajahnya yang dihiasi senyuman. Dadaku masih nyeri setiap kali aku mengingatnya. Akan tetapi, aku sadar sepenuhnya bahwa yang kurasakan ini adalah rasa bersalah.
Kesalahanku untuk menerimanya sebelum mengetahui betul bagaimana perasaanku. Kesalahanku dengan kesoktahuan yang kumiliki untuk mengasumsikan sesuatu. Kesalahanku telah menyakiti hatinya yang tidak kata lain yang bisa menggambarkannya selain tulus.
Lucu ketika aku merasakan demikian, bukannya sakit hati setelah putus hubungan seperti kebanyakan. Rasa tersebut semakin menjadi setelah kami pulang, Mahesa masih sempat mengirimkan pesan mengucapkan selamat tidur. Ia bahkan berjanji untuk tetap menjalin hubungan baik denganku ketika aku akan turun dari mobilnya.
Aku memang egois. Sebagian dari diriku tidak ingin kehilangan teman baik seperti dirinya. Akan tetapi, aku sadar penuh bahwa aku hanya bisa berharap.
"Re?"
Aku tengah mengompres mataku dengan sendok ketika mendengar bunyi ketukan pintu.
"Iya, masuk aja." Aku menjawab dengan suara serak yang terdengar tidak karuan.
Alika dan Nada membuka pintu, membuatku dapat melihat kondisi luar yang sudah mulai petang. Keduanya memasang wajah yang sama, prihatin, khawatir, kasihan, entahlah.
"Lo udah makan belum? Nih kita bawain makanan." Alika mengangkat plastik putih yang ada di tangan kanannya.
Aku mengulaskan senyum dan mengangguk. "Thanks."
Alika mengedikkan bahu. "No prob."
Mereka berdua mengambil sikap bersila di depanku yang berada di atas kasur.
"Udah baikan, Re?" Nada dengan suara pelan—yang jarang sekali keluar dari mulutnya—bertanya kepadaku.
"I'm fine." Aku menambahkan senyum untuk meyakinkan mereka.
Tadi pagi aku mengirimkan pesan singkat ke grup kami.
Regen
Just broke up with him.
Aku menatap Alika, ingin sekali menanyakan sesuatu. Seperti tahu apa yang sedang kupikirkan, Alika bersuara. "Kenapa?"
"Eee...lo lihat Mahesa tadi di kampus?" Akhirnya aku bertanya dengan tidak percaya diri. Bisa-bisanya aku menanyakan keadaanya setelah dengan teganya menyakiti hatinya.
Alika tersenyum samar sebelum menjawab, "Lihat. Makan siang bareng tadi di kantin."
"How...how is he?"
"He's...okay?" Dahi Alika mengerut seiring ia menjawab dengan tidak yakin. "He looked...normal. Atau mungkin gue yang nggak peka, tapi dibanding lo yang kaya gini, dia termasuk baik-baik aja. Masih bisa ketawa. Tapi mungkin...kadang agak...apa ya, tiba-tiba ngelamun."
Leherku kehilangan energi untuk menopang kepala tegak-tegak.
"Ini semua bukan salah kamu, Re." Nada mencoba menghiburku. "Aku yakin kamu ngerasa gitu, tapi enggak. Bukan relationship namanya kalau nggak ribet. It happens all the time."

KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteriously Matched
RomanceRegen tidak suka sesuatu hal yang rumit. Akan tetapi, seakarang ini ia dihadapkan dengan persimpangan; masa lalu yang muncul kembali tanpa aba-aba, masa depan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan, dan seorang anonim yang mampu mengalihkan perhatia...