21: Saingan

150 18 0
                                    

Jam di tangan menunjukkan pukul tujuh, menandakan rapat Divisi PR akan segera mulai. Untung saja anggotaku pemegang prinsip tepat waktu semuanya. Jadi, tidak ada drama ngaret selama ini, kecuali dengan beberapa alasan yang jelas dan disampaikan lebih dulu.

"Kaya biasa, ya, Ntan. Minta tolong dicatetin," ucapku pada Intan dengan senyum.

"Siap, Mbak." Tangan Intan sudah siap dengan notes di ponselnya, begitu juga aku.

"Mulai dari yang paling deket dulu, ya. Besok penilaian lomba kebersihan, udah siap semua, kan? Nggak ada problem? Gio? Nisa?" Aku memulai pembahasan.

"Siap, sih, Mbak. Belum ada masalah. Semoga aja sampe besok nggak ada masalahnya," balas Gio.

"Cuma besok aku ada kelas bentar, Mbak. Mungkin telat sekitar sepuluh menitan," imbuh Nisa sebagai penanggung jawab untuk lomba kebersihan.

Aku mengangguk. "Nggak pa-pa, Nis. Oh iya, aku udah ngasih tahu, kan, ya, pas itu nanti aku pas full kelas?"

Beberapa dari mereka mengangguk dan menjawab, "Udah, Mbak."

"Maaf banget, ya. Dosen aku yang ini killer dan suka kuis dadakan, jadi susah buat skip." Aku menggaruk kepala. "Minta tolong, ya, Dim, besok."

"Siap, Re. Tenang aja," balas Dimas dengan anggukan.

"Besok misal ada yang ditanyain, kalau aku nggak bales-bales, bisa langsung ke Dimas, ya. Dia nggak ada kelas, jadi bisa nemenin kalian." Aku memperjelas. "Berarti besok yang bakal nemenin para dosen ada Gio, Dimas, Nisa telat bentar, sama Indah, ya?"

"Iya, Mbak." Nama-nama yang kusebutkan mengiakan.

"Oke, misal nanti yang lain juga kosong dan bisa bantu, boleh banget, ya. Nanti bakal ada anak Acara juga, kok, sama Randi."

Dirasa beres membahas mengenai penilaian lomba kebersihan yang akan dilakukan besok, aku melanjutkan bahasan lain.

"Next, buat paper, nih. Aku udah terima beberapa abstrak yang masuk, masih tinggal seminggu lagi ya pengumpulannya?"

"Aku kemarin udah ngecek beberapa, sih, Mbak. Lumayan. Lumayan banyak," ucap Rahman sebagai penanggung jawab paper competition.

Kami tergelak. "Gampang, lah, nanti. Aku bantuin buat nyortirnya. Masalah juri aman?"

"Ini, Mbak. Kemarin Pak Doni dari IT usul, gimana kalau pemilihan atau penilain abstraknya semua juri diikutsertakan. Soalnya kan dari seluruh tema pun pasti berkesinambungan," ucap Dini.

"Aduuhh, males banget ini aku kudu jelas-jelasin." Aku menyibakkan rambut. "Dari nadanya, Bapaknya nyuruh atau usul, Din?"

Dini tertawa tanggung. "Lewat chat, Mbak. Nggak tahu nadanya gimana."

Aku tersenyum palsu. "Bener, sih. Hmm..." Aku berpikir sejenak. "Bilang aja gini, Din. Bentar, gimana, ya. Ini, Pak, mungkin lebih baik kalau terfokus ke bidangnya masing-masing, karena rentang waktu penilaian yang cukup singkat juga, ditakutkan nanti akan memakan waktu yang lebih lama kalau terlalu banyak kepala."

Dini mengangguk dan mencatat dengan cepat di ponselnya.

"Gitu dulu aja, Din. Nanti aku bilangin sama koor yang lain juga dulu tapi," imbuhku.

Seperti biasa, akan membosankan jika kujelaskan keseluruhan isi rapat. Jadi, mari melompat ketika semua sudah selesai. Hampir mendekati jam sembilan ketika kami memutuskan untuk menyudahi. Tentunya karena selingan obrolan yang jauh dari keperluan dies natalis.

"Nggak ada yang mau makan dulu?" ucapku ketika kami semua hendak membubarkan diri.

"Aku, Mbak. Mau makan di sini sekalian?" Gio menanggapi.

Mysteriously MatchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang