28: Ada Saingan di Depan Kos

134 15 0
                                    

"Itu kan ada tiga persamaan, kan, Nad. Suku yang pertama lo pindah ruas, nanti jadi b minus semua suku. Kalau udah, nanti kita cari x nya. Jadi, 1 per a dikurang semuanya. Udah kan dapet model kaya gini." Tangan kiriku memegang ponsel yang tersambung panggilan video dengan Nada. Tangan kananku memegang pensil mekanik yang sibuk mencoret kertas yang direkam oleh ponsel.

"Okee, terus?"

"X2, X3 seterusnya lo misalin nol. Nah, kan lo bakal dapet nilai X1-nya, kan?" Aku melingkari bagian yang kumaksudkan.

"Hooh, terus?"

"Yaa, itu diulang terus. Paling kalau ujian sampe lima iterasi, sih, kalau dari soal-soal sebelumnya." Aku mengetuk-ngetuk meja dengan ujung pensil. "Nanti di iterasi kedua, nilai X yang kamu dapat dari hitugan sebelumnya, kamu masukin di persamaan itungan iterasi kedua."

"Hah?" Aku bisa melihat hidung Nada yang mengerut lucu. "Sek, sek. Coba ditulisin, deh, Re."

Aku terkekeh. "Gini, gini. Ini kan udah dapet kan 3,15 X-nya, Y-nya 2,16, terus Z-nya 3,62. Nah, kita balik lagi ke soalnya..." Aku berhenti sejenak, merasakan perut yang bergejolak.

"Re?"

"Bentar, bentar." Aku mengambil napas panjang lalu membuangnya. "Sampe mana tadi? Oh! Kan tadi setelah pindah ruas, persamaanya jadi satu per dua tujuh dikali, kurung (85 - 6y - z). Nah itu nilai Y sama Z sebelumnya kamu masukin ke situ."

"Ooooohhh." Bibir Nada membulat, disertai dengan kepalanya yang mengangguk-angguk.

Sudah kurang lebih setengah jam aku menjelaskan Metode Numerik kepada Nada, tepatnya saat ini pada bagian Iterasi menggunakan Metode Gauss-Seidel. Aku dan Nada memang tidak terlalu sering belajar bersama untuk ujian. Hanya satu alasannya, nanti kami hanya akan mengobrol dan melupakan tujuan utama.

Namun, ketika aku atau Nada mengalami kesulitan, biasanya kami akan telepon atau video call seperti ini. Sedikit aneh, tapi bagi kami lebih efektif. Karena yang kami lakukan, setelah selesai dan mengerti, telepon kami matikan.

"Yang Jacobi paham, kan, Nad?"

Nada mengangguk. "Ngerti. Aku masih nggak paham yang ini, Re. Soal tahun lalu, yang nomor tiga. Udah mbok kerjain?"

Aku meletakkan ponsel di meja secara sembarang. Tanganku sibuk mengobrak-abrik serakan kertas yang ada di meja. "Udah, nih. Yang Interpolasi Lagrange, kan?"

"Iya, tapi kan itu dari Lagrange terus harus diitung pake Newton-Gregory. Nah itu aku ngelu."

"Huum. Ini—" Baru akan membuka mulut untuk menjelaskan, panggilan telepon masuk. "Bentar, Nad. Ada telepon masuk. Nggak pa-pa, kan?"

Dengan anggukan, Nada menjawab, "Nggak pa-pa. Angkat dulu aja."

Aku mematikan video call dengan Nada. Sekejap membaca nama yang tertera, sebagian diriku merasa tidak kaget melihat intensitas komunikasi kami beberapa waktu belakangan.

"Di kos nggak, Re?" Secepat kilat suara Aksa terdengar setelah aku menerima panggilannya.

"Iya, kenapa?"

"Bisa keluar dulu nggak? Bentar aja."

Alisku naik satu. "Ngapain?"

"Keluar kos aja. Gerbang."

"Iyaaa, kenapa dulu ah!" Aku tidak ingin dengan gampang disuruh-suruh olehnya.

"Aku di depan."

Mulutku ternganga. Aku tidak salah dengar, kan? Atau kepalaku sudah terlalu panas dengan iterasi dan interpolasi, sehingga ia mulai eror?

"Re? Banyak nyamuk ini."

Mysteriously MatchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang