23: Masa Lalu

134 17 2
                                    

"Dihapus dulu itu air matanya," ejek Aksa sambil mencoba untuk menahan tawa.

Aku kembali mengusap mataku kasar. "Udah nggak ada!"

Aksa tergelak. "Lagian nangisnya kenceng banget atuh."

"Ah, kamu mah. Nggak bisa, ya, menghayati film," gerutuku sambil mencubit pinggangnya.

Aksa mengaduh dengan tawa masih terulas lebar di wajahnya.

Sekarang ini aku dan Aksa sedang berjalan tidak tentu arah, melewati satu per satu toko yang ada di salah satu mall di Jogja. Baru saja kami selesai menonton salah satu film bergenre romansa yang baru saja rilis. Adegan terakhir film—yang memiliki akhir tidak bahagia menurutku—membuat cairan di mataku tidak dapat dibendung.

"Mau duduk di situ dulu?" Aksa menunjuk salah satu bangku yang disediakan dengan dagunya.

Aku memberikan jawaban dengan menganggukkan kepala.

"Masih sedih? Kan udah dapet Chatime." Aksa sepertinya tidak ada niat untuk berhenti mengejekku.

"Aku tuh nggak sedih. Kesel iya. Kenapa, sih, ending-nya dibikin begitu?" Aku menyedot Chocolate Mousse yang ada di tangan kiri.

Aksa meraih tanganku dan menggenggamnya. "Mau protes sama sutradaranya? Aku cariin kontaknya nanti."

Aku menyipitkan mata ke arahnya. "Bisa udahan nggak?"

Tawa Aksa pecah, membuatku tak urung ikut tertawa dengannya.

"Kamu panuan, ya, Re?" celetuk Aksa tiba-tiba sambil mengusap tanganku dengan tangannya yang terbebas dari genggaman kami.

"Heh! Enak aja!" bantahku defensif.

"Lha ini bintik-bintik." Aksa menunduk, fokus pada tanganku.

Aku berdecak. "Ini tuh freckles tahu nggak? Freckles!"

Dahi Aksa berkerut. "Di tangan?"

Aku mengangguk. "Nggak pernah lihat, ya?"

Kepala Aksa menggeleng.

"Ini aku dapet dari...ayahnya kakek buyut? Jauh, ya." Aku terkekeh. "Kalau kata Papa beliau orang Portugis. Saudara aku juga ada beberapa yang kaya gini."

"Pantes idung kamu mancung, ya," komentar Aksa sambil melihat wajahku.

"Kamu juga, ya," balasku sambil mencubit hidungnya.

Aksa hanya meringis. "Tapi kamu emang susah naik berat badan, ya, Re?" Aksa melingkarkan ibu jari dan telunjuknya di pergelangan tanganku. "Kamu juga suka minum susu tiap hari. Nggak ngaruh?"

Aku memperhatikan Aksa sejenak. Cepat atau lambat memang sepertinya aku harus menceritakan hal ini kepadanya. Lagipula apa salahnya aku cerita? Tidak perlu ada yang dirahasiakan. Iya, kan?

Aku mengangguk pelan. "Dari dulu aku nggak bisa gemuk. Dari Papa juga, sih, kayanya. Aku lihat dari keluarga Mama nggak ada yang kurusnya kaya aku gini." Aku tertawa sumbang sambil melihat badanku.

"Karena itu kamu suka minum susu?" tanya Aksa. Aku bisa merasakan kehati-hatian di dalam suaranya.

Kembali aku tersenyum dan mengangguk. "Lucu, ya? Padahal juga nggak bakal ngaruh apa-apa. Mungkin kalau sekarang udah jadi kebiasaan aja." Atau tidak?

Aksa masih memperhatikanku, tahu bahwa ada hal yang belum aku utarakan.

"Dulu waktu kecil suka dikatain kurus banget. Biasalah, ya, ibuk-ibuk kalau lihat anak kecil, kalau kurus dikira nggak dikasih makan." Aku mendengus. "Dulu aku nggak terlalu mikir. Mama sama Papa juga nggak pernah ngelarang aku makan ini itu. They also assured me there's nothing wrong with my body."

Mysteriously MatchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang