"Kira-kira materinya ini, sih, Pak. Kurang lebih sama seperti tahun kemarin. Dari Bapak mungkin ada permintaan yang lain?"
Saat ini aku dan lima orang yang lain tengah berada di ruangan Laboratorium Teknologi Mekanik. Meja-meja dipenuhi dengan alat untuk manufaktur, seperti mesin press, mesin bor, mesin las, dan banyak lainnya. Ada juga komputer dan keperluan praktikum yang lain.
Semester ini memang aku menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Teknik Manufaktur. Beruntungnya—tolong mengerti aku sedang sarkas—aku menjadi ketua asisten. Sederhananya karena aku perempuan seorang diri, dipandang lebih rajin dalam hal mengorganisir.
Pak Darja selaku dosen pengampu mata kuliah dan praktikum menganggukkan kepalanya dengan tangan berada di dagu. "Nggak pa-pa, sih. Nanti misal ada perubahan saya kabarin."
"Siap, Pak." Beberapa dari kami menjawab.
Pertanda tidak baik. Artinya, kami akan sering dihadapkan dengan perubahan mendadak sewaktu-waktu.
"Sama saya minta buat modulnya, dibuat per bab aja, ya. Jadi misal mau praktikum nanti baru dikasihkan. Ya...H-3 gitu, lah. Nggak usah bentuk buku kaya yang kemarin. Misal nanti saya mau nambah-nambahin biar nggak repot," perintah Pak Darja panjang lebar.
"Jadi nanti saya kirim materi yang sudah kami siapkan ke Bapak sekitar seminggu sebelumnya begitu, Pak?" tanyaku.
"Boleh, boleh." Pak Darja kembali mengangguk.
"Buat yang minggu ini jadinya gimana, Pak?" tanya Aryo, salah satu temanku.
"Pakai yang tahun lalu dulu aja nggak pa-pa."
Memang Pak Darja ini salah satu dosen tersibuk. Oleh karena itu juga, kami baru merapatkan untuk materi praktikum di minggu yang sama praktikum mulai. Bahkan praktikum mulai setelah satu bulan lebih kami masuk kuliah kembali.
Setelah membahas beberapa detail lain, kami bubar untuk menuju tujuan masing-masing.
Pada saat Pak Darja telah sampai di pintu ruangan, beliau berbalik. "Oh iya, di sini ada yang kenal anak TI nggak, ya?"
"Industri, Pak?" tanya Bayu.
"Informasi," jawab Pak Darja.
"Regen, Pak!"
Aku tidak bohong. Lima dari lima orang selain aku menjawab serentak dan seragam. Aku langsung memberikan pelototan kepada mereka semua. Mereka hanya membalas dengan cekikikan menyebalkan.
"Kalau gitu Regen, minta tolong buat kasihin laptop saya ke Raka boleh, ya? Tadi anaknya pinjam, saya telepon nggak diangkat. Saya mau meeting soalnya habis ini," jelas Pak Darja.
"Oh...iya, Pak." Aku hanya bisa pasrah mengiyakan perintah beliau. Dengan gontai aku mengikuti beliau ke ruangannya untuk mengambil laptop.
Kenapa anaknya nggak suruh ambil sendiri aja, sih!
Pertanyaanku terjawab ketika aku dan Pak Darja keluar ruangan, beliau mengunci pintu. Oh iya, Raka adalah anak Pak Darja. Sudah menjadi rahasia umum karena beliau sering menceritakan anaknya ketika mengajar di kelas.
Keluar dari gedung Departemen Teknik Mesin, aku berjalan melewati gedung pusat karena letak gedung kami yang berseberangan secara melintang. Ketika sampai, aku langsung menghadapi masalah. Bagaimana aku bisa mencari seorang Raka ini?
Pertama, aku tidak pernah tahu bentuk wajahnya. Kedua, aku tidak mengetahui kontaknya—bodohnya aku tidak meminta kepada Pak Darja. Ketiga, ada ratusan orang yang ada di gedung ini. Terakhir, aku bahkan tidak tahu apakah dia sekarang di sini atau tidak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteriously Matched
RomanceRegen tidak suka sesuatu hal yang rumit. Akan tetapi, seakarang ini ia dihadapkan dengan persimpangan; masa lalu yang muncul kembali tanpa aba-aba, masa depan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan, dan seorang anonim yang mampu mengalihkan perhatia...