Kedua kakiku menginjak paving block setelah berhasil turun dari jok belakang motor Aksa.
"Makasih. Hati-hati baliknya," ucapku padanya sambil merapikan rambut yang berantakan terkena angin karena perjalanan ia tidak terlindungi helm.
Aksa mengangguk pelan. "Night, Re."
"Good night, Sa." Aku berbalik, mengambil langkah menjauh darinya.
"Regen!" Belum genap sepuluh langkah, panggilan Aksa menghentikanku.
Aku berbalik menghadap ke arahnya. "Kenapa?"
Aksa melepaskan helmnya, meletakkannya di spion motor. Ia turun dari posisinya, membuat badannya sepenuhnya berdiri menghadapku. Aksa menunduk sejenak, menghela napas panjang. Ia mendongak, menatapku sesaat kemudian. "Kita...dulu..."
Dengan saksama aku menunggunya.
Aksa memejamkan mata sekejap. "Kenapa dulu kita putus?"
Aku tidak ingin berbohong. Sedikit banyak aku dapat menduga cepat atau lambat bahasan ini akan muncul juga. Aku coba merangkai kata di kepala, tapi usahaku sia-sia. Perlu sedikit waktu untuk aku dapat menjawabnya. Setelah beberapa kali menghirup dan membuang napas, mulutku akhirnya tergerak.
"Really, Sa?" Aku tergelak. "Aku juga nggak ngerti. Dan nggak mau ngerti."
"Can we—"
"Stop." Aku mengangkat tangan kanan. "You better not finish that sentence."
"Aku masih ngerasa kita nggak ada yang salah, Re. Masih ada jalan lain selain putus." Nada putus asa kentara dari suaranya.
"Iya, emang nggak ada yang salah. Kita nggak cocok aja."
"Kalau kita nggak cocok, nggak mungkin kita mulai. Pasti ada ja—"
"You keep being silent and so am I." Heningnya malam membuat suaraku terdengar seperti naik satu oktaf.
Aksa mengacak rambutnya kasar. "Terus aku harus gimana, Re? Marah-marah? Ceramah ke dia? Nggak usah ditanggepinlah orang kaya dia."
Aku tergelak. "See? Aku nggak tahu kamu mikirnya gimana, Sa. Tapi buat aku, kamu bukannya ngehindarin konflik. You just don't want to be the bad guy." Dingin angin malam membelai pipi. "Selalu aku yang ngerasa itu masalah, yang selalu ngeluh. Selalu kamu yang nganggep semuanya baik-baik aja. Nggak ada apa-apa. Justru karena nggak ada apa-apa itu yang bikin jadi ada apa-apa, Sa!"
"Re—"
"Udah, ya, Sa." Aku memejamkan mata. "Aku capek. Kamu juga. Mending kamu cepet balik istirahat. Besok masih kuliah."
Aksa terlihat menahan ingin mengatakan sesuatu.
"Hati-hati di jalan, Sa." Kali ini aku berbalik tanpa berhenti atau pun menoleh lagi.
Napas yang tertahan akhirnya bisa kulepaskan saat berhasil memasuki kamar. Namun, sepertinya kepalaku tidak bisa diajak kompromi. Pertemuan kembali dengan Kinan membuatku mengingat masa-masa kelam yang ingin aku lupakan, seperti perilaku dan pikiran bodoh yang pernah aku lakukan.
"Lo kenapa, sih, Re? Nggak sakit perut lo makan segitu?" Alika dengan alisnya yang tertekuk berkata kepadaku.
Aku menggelengkan kepala. "Mau dimasukin seberapun juga nggak ngefek ke badan gue."
Aku, Alika, dan Nada saat ini tengah berada di kursi paling pojok Hokben. Di depan kami bertiga telah terhampar tiga bento special, chicken dan curry korokke, ebi furai, dan egg chicken roll.
"Ya, bukan berarti semua lo masukin ke perut juga," sarkas Alika.
"Wis. Mending lanjutin makan ae. Nggak usah debat." Nada berusaha menengahi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteriously Matched
RomanceRegen tidak suka sesuatu hal yang rumit. Akan tetapi, seakarang ini ia dihadapkan dengan persimpangan; masa lalu yang muncul kembali tanpa aba-aba, masa depan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan, dan seorang anonim yang mampu mengalihkan perhatia...