27: Connecting the Dots

137 19 0
                                    

Mahasiswa berlalu lalang di belakangku duduk saat ini. Aku tengah 'asyik' dengan laptop yang memunculkan puluhan file dengan berbagai isinya. Badanku tersentak ketika benda dingin menempel di pipi. Aku mendongak untuk melihat pelakunya.

"Lagi ngapain?" Aksa memberikan senyum setengah.

Menyebalkan. Beberapa hari belakang, setiap aku ada waktu luang, selalu kenangan tentang dia yang terputar di kepala. Entah itu yang menyenangkan atau yang sangat ingin aku lupakan. Mengapa sebagai mantan saja dia masih bisa mengambil porsi di kehidupanku?

"Ini, lagi nyortir abstrak paper." Aku masih mendongak menatapnya.

Dibandingkan dengan saat kami berpacaran, tidak banyak yang berubah dari Aksa. Rambutnya masih panjang menutupi dahi, meski sedikit lebih pendek dari biasanya. Sepertinya ia baru saja potong rambut. Postur badannya masih sama, meski sedikit lebih fit dari yang aku tahu sebelumnya. Kantong matanya yang samar masih ada. Tahi lalat kecil di dekat alis kanannya masih ada. Senyumnya masih sama.

Aksa duduk di kursi kosong sebelahku, lalu meletakkan susu kotak cokelat dengan onigiri di sebelah laptop. "Mau dibantuin? Anak-anak kamu mana?"

Setelah pertemuan terakhir yang cukup tidak mengenakan, kami belum berkomunikasi lagi selain masalah kepanitiaan. Melihatnya sekarang ini yang seakan tidak terjadi apa-apa, aku memutuskan untuk mengikutinya. Maybe it was just a heat of the moment.

Aku menggeleng pelan. "Udah mau selesai kok ini. BTW, emang sejak kapan aku udah nikah? Anak-anak."

Aksa terkekeh. "Kamu tahu yang aku maksud, Re."

Aku ikut tertawa. "Pada sibuk yang lain. Lagian ini doang, kok. Nggak suka nyuruh-nyuruh."

"Tapi kerjaan kamu nyuruh-nyuruh, Re." Aksa menaikkan alisnya.

Aku berdecak. "Itu tu ggak nyuruh, tapi bagi tugas."

Tawa kecil keluar dari mulut Aksa, ia menggelengkan kepalanya. "Ada aja ngelesnya."

Aku menaikkan bahu. "Ini buat aku, kan?" Aku meraih susu kotak.

Aksa mengangguk. "Siapa lagi kalau bukan kamu?"

Bukan apa-apa, Aksa mengatakan demikian karena memang dia tidak bisa minum susu. Bukannya tidak bisa, tapi sehabis minum susu pasti dia akan sakit perut. Aksa seorang lactose intolerant.

"Ngapain kamu?" ucapku sambil mengunyah onigiri.

Dahi Aksa membentuk kerutan. "Ngapain apanya?"

"Ngapain beliin aku susu segala." Aku berhenti mengunyah. "Apa jangan-jangan aku disuruh ngeganti?"

Aksa mendengus. "Ya, enggaklah. Emangnya nggak boleh?"

"Ya, bukannya nggak boleh." Aku mengedikkan bahu. "Terserah, deh." Berbicara dengannya terlalu melelahkan, berputar terus tidak ada ujungnya. "Belajar sana, mau UTS juga."

Senin depan, kami harus menghadapi ujian tengah semester. Rasanya waktu cepat sekali berjalan.

"Oh, iya, Re. Mmm..." Aksa menunduk sejenak, lalu kembali menatapku. Ia menarik udara dari sela-sela gigi. Wajahnya penuh akan keraguan.

"Kenapa, Sa?"

"Mau belajar bareng?" Tepat ketika selesai berbicara, ia membuang napas.

Aku menggigit bibir. Bukannya aku tidak mau, tapi aku tidak bisa. Aku tidak tahu bagaimana memberitahunya tanpa perlu menjelaskan lebih detail. Aku seperti tidak ingin ia mengetahui alasannya. Lebih mengherankannya lagi, kenapa aku seperti tidak ingin menolak ajakannya?

Mysteriously MatchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang