Cairan wewangian aku semprotkan ke tubuh sebagai sentuhan terakhir persiapan sebelum berangkat social project hari kedua. Kali ini aku harus menjemput Aksa di kontrakannya. Barang yang kami perlukan untuk ke panti berada di sana. Dari pembagian sebelumnya, mobil Damar dipakai untuk panti dengan lokasi yang lain.
"Sorry, ya, Re. Besok harus gantian kamu yang nyamper," ucap Aksa saat mengambil motor miliknya di kosku setelah pulang dari menanam mangrove di Pantai Baros.
Aku terkekeh. "Ya, nggak pa-pa, lah, Sa. Malah enakan gitu nggak, sih? Dari pada gini, kamu bolak balik."
"Soalnya nggak cukup juga kalau ditaruh sekre, masih ada barang-barang yang lain. Punya kita menuh-menuhin," jelas Aksa.
Aku mengangguk mengerti. "Santai aja. Kan abis dari kontrakan bisa kamu yang nyetir. Aku tinggal tidur," candaku.
Aksa mengeluarkan tawa kecil. "Iya, besok tidur aja pas otw."
Aku berdecak. "Becanda, ih! Besok aku bawa cemilan biar nggak tidur."
Gelakan Aksa tambah lebar.
Rasanya aneh. Mengobrol di depan kos sehabis pergi bersama—meskipun ini keperluan kepanitiaan—dia yang menopangkan tubuh di atas jok motor menghadapku, tawanya yang tidak terasa tertahan, pembicaraan ringan dan nyaman tanpa beban, rasa senang berbincang bersama diselingi dengan sedikit kegugupan. Semuanya aneh. Aku kira kami sudah putus, tapi...
Aku menggelengkan kepala dengan mata terpejam rapat. "Udah sana balik. Istirahat. Besok masih harus nguli."
Mungkin dengan aku tidak melihatnya, perasaan ini juga akan hilang.
"Diusir ini ceritanya?" Aksa tersenyum separuh.
"Iya," jawabku serius.
Aksa terkekeh. "Oke, deh, kalau udah diusir." Aksa duduk di jok motornya dengan benar. "Selamat istirahat, Re."
Kepalaku terangguk. "Kamu juga. Ati-ati baliknya."
Kedua bibir Aksa terangkat, kemudian berlalu.
—
Berbeda dengan kemarin, hari ini aku lebih menyiapkan diri. Untung saja rencananya hari ini ada dua sampai tiga orang lagi yang akan berangkat bersama kami kalau mobil cukup. Segera aku menjauhi kos untuk menuju kontrakan Aksa. Tidak sampai sepuluh menit, aku telah berada di halaman depan rumah yang ditinggali oleh Aksa dan Damar.
"Eh, Re, udah sampe." Aksa muncul dari balik pintu. Sudah rapi dengan setelan kemeja yang ia lipat sampai siku di bagian lengannya. "Masuk dulu. Bentar aku masih ngopy file."
Aku mengangguk dan berjalan menuju pintu. Melepas sepatu, aku melangkah masuk. Kata rapi sangat jauh untuk mendeskripsikan ruang depan. Aksa yang aku tahu adalah seseorang yang rapi.
"Sa, ini berantakan banget kamu abis ngapain, deh?" tanyaku memandangi berbagai kertas yang berserakan, pulpen, pensil, kabel, hard disk, dan berbagai barang lainnya.
Aksa tersenyum gugup dan menggaruk kepalanya. "Sorry, belum sempet bersih-bersih."
Salah satu alisku terangkat. "Tumben."
Biasanya, sesibuk apapun Aksa, dia berusaha untuk tetap menjaga 'lingkungannya' bersih dan tertata.
"Iya, aku lagi prepare hackathon juga soalnya, jadi...yaa, gitu, deh," jelasnya dengan ringisan dan nada ragu-ragu.
Aku terdiam.
"Sambil ngangkut yang perlu dibawa aja, yuk." Aksa yang tengah duduk bersila di tengah ruangan dengan laptop di depannya kemudian berdiri, menuju pojok ruangan yang menyimpan berbagai kebutuhan social project. "Bantuin ngangkat ini, dong, Re. Tolong."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteriously Matched
RomanceRegen tidak suka sesuatu hal yang rumit. Akan tetapi, seakarang ini ia dihadapkan dengan persimpangan; masa lalu yang muncul kembali tanpa aba-aba, masa depan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan, dan seorang anonim yang mampu mengalihkan perhatia...