20: Bangun Pagi

135 15 4
                                    

Mataku yang masih rapat terusik dengan nada dering yang menggelegar mengisi ruangan. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri tanpa membuka kelopaknya. Perlahan aku melawan perekat yang menahannya untuk terbuka. Tanganku meraih ponsel yang ada di nakas.

"Halo," sapaku dengan suara serak.

"Re?"

Suara dari seberang sana seakan menjadi katalis untukku membuka mata sepenuhnya. Aku melihat nama yang dimunculkan oleh layar.

"Re? Udah bangun?" tanyanya kembali.

"Hmm? Udah, baru aja." Aku mengerjap beberapa kali.

"Bangun. Ada kelas, kan? Udah siang."

Aku melihat jam di dinding. Mampus! Langsung aku bangkit dari tidur dan bergegas ke kamar mandi.

"Ini bangun beneran. Makasih, Sa," ucapku sebelum memutuskan sambungan telepon.

Saat mandi, baru aku menyadari. Dari mana ia tahu kalau hari ini aku kelas pagi?



Tipiiiisss. Tepat ketika aku mengambil duduk di sebelah Nada, Pak Jarot memasuki ruangan.

"Anjir. Untung banget." Aku membuang napas lega. "Kalau Aksa nggak bangunin gue udah pasti telat."

Mendengar ucapanku, kedua mata Nada membulat—hampir-hampir seperti keluar. "Hah? Apa, Re? Aku nggak salah denger, kan?"

Aku langsung menarik dan merapatkan bibir. "Nanti. Kelas udah mulai."

Aku mengabaikan Nada dan fokus ke depan. Beberapa kali Nada masih menagihku untuk bercerita dengan berbisik-bisik. Aku berusaha keras tidak menghiraukannya.

Namun, usahaku tidak menggubrisnya harus disudahi. Ketika kelas selesai, Nada langsung menarikku untuk menagih hutang cerita. Aku masih bisa menahannya sampai di kantin.

"Cepet. Cerita," tegas Nada.

"Pesen dulu kenapa, sih?" Aku mencoba mengelak.

Nada menggeleng cepat. "Nanti aja. Sekarang cerita sek."

Aku menarik napas, lalu membuangnya perlahan. Baru akan membuka mulut, notifikasi ponsel Nada menyala.

"Asem." Nada menepuk jidatnya. "Aku lupa. Harus ngurus surat sospro sama kebersihan."

Aku mengulaskan senyum. "Ya, udah diurus dulu atuh. Kewajiban budak harus dilaksanakan. Gih." Aku menggerakkan dagu.

Nada menatapku bosan. "Awas. Pokoke aku tagih."

"Iyaa, iyaaa." Aku menggerakkan tangan mengusirnya. "Udah sana."

Seperginya Nada, aku mengeluarkan ponsel dari saku celana. Perlahan jariku mengetikkan pesan. Beberapa kali menghapus. Beberapa kali mengetik ulang.


Regen

makasih tadi udah dibangunin

tumben bangun pagi?


Akhirnya terkirim juga. Beberapa detik aku menyesali pesanku yang kedua. Harusnya berterima kasih saja sudah cukup. Kenapa harus dilanjutkan dengan pertanyaan yang tidak perlu?

Tidak membutuhkan waktu lama hingga pesan balasan dari Aksa datang.


Aksara

Mysteriously MatchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang