4: Dies Natalis

450 38 0
                                    

"Aaaahhh...males banget." Nada mengeluh tepat ketika kami keluar dari kelas Pemodelan Sistem dan Komputasi.

Kali ini aku tidak mau mengkritiknya, karena aku juga merasakan hal yang sama. Hal yang kami keluhkan kali ini aku yakin banyak dari kalian juga yang mengalami, yaitu rapat himpunan mahasiswa.

Di kampusku, untuk Fakultas Teknik, himpunan mahasiswa dibagi berdasarkan departemen. Namun, karena Departemen Teknik Mesin hanya terdiri dari satu jurusan, oleh karena itu hanya mahasiswa dari Teknik Mesin yang bergabung. Berbeda dengan contohnya Teknologi Informasi yang berada satu departemen dengan Teknik Elektro, sehingga tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Teknik Elektro dan Teknologi Informasi atau KMTETI. Himpunan kami biasanya disebut HMTM, Himpunan Mahasiswa Teknik Mesin. Tidak ada yang istimewa.

"Nad, gue beli minum dulu, deh, ya. Lo duluan aja nggak pa-pa," ucapku pada Nada di tengah perjalanan kami menuju sekretariat.

"Aku nitip, ya, tolong," balas Nada.

Aku mengangkat tangan kanan dan membentuk lingkaran dengan jari telunjuk dan jempol.

Setelah itu, Nada berjalan lurus sedangkan aku belok kiri menuju FT Mart yang terletak di sebelah kantin. Artinya, aku harus melintasi halaman luas karena bentuk denah fakultasku berbentuk huruf U dan gedung Teknik Mesin berada di ujung yang berseberangan.

Kesempatan ini aku manfaatkan dengan membuka sosial media. Berjalan dengan fokus yang terpecah dua, membuatku tidak sadar bahwa aku telah sampai tujuan kalau saja tidak ada seseorang yang menabrakku dari samping. Refleks aku mengangkat kepala dan menoleh untuk melihat siapa tersangkanya.

"Kamu?"

"Regen?"

Suara yang tidak pernah kudengar selama empat bulan terakhir kembali menyapa telingaku. Yap. Perkenalkan saudara-saudara, Aksara dari Teknologi Informasi a.ka. Mantan Regen Rosenia.

"Aku duluan," keluhku dengan tidak santai.

Berbeda dengan minimarket kebanyakan, FT Market ini memang hanya terdiri dari satu pintu masuk. Hal itu berarti tidak mungkin dua orang dapat masuk bersamaan.

"Yaelah, perkara masuk doang." Aksa memutar bola matanya.

"Ya, bodo amat. Mau masuk kek, mau keluar. Aku duluan pokoknya." Aku ngotot.

Aksa berdecak. "Lagian kalau pengen tahu, ya, kamu yang nabrak aku."

Keningku berkerut. "Dih, yang ada kamu yang nabrak."

Sejujurnya, aku tidak tahu setan apa yang telah merasuki. Bahkan kata sepele terlalu berat untuk mendeskripsikan situasi sekarang ini. Namun, entah kenapa hanya tiga detik melihatnya saja selalu mampu membuat tekanan darahku meningkat tajam.

"Kamu tadi tuh main HP, mana lihat." Aksa juga sama kukuhnya. Bedanya adalah dia menanggapiku dengan nada datar tanpa variasi tinggi.

"Ya, harusnya kamu minggir dong kalau lihat." Bahkan di telingaku sendiri, aku terdengar sangat konyol.

Aksa menyipitkan matanya. "Dih, orang aku mau masuk malah disuruh minggir."

"Kalau mau ma—"

"Bisa minta tolong tengkarnya minggiran dikit nggak?"

Saat akan melontarkan kalimat balasan, suara perempuan memotong lebih dulu. Kami berdua serentak menoleh ke belakang. Pada saat itu juga, suhu pipiku bertambah sekian derajat. Memandang sinis Aksa untuk sepersekian detik, aku langsung berbalik arah mengubah haluan. Puluhan langkah kuperlukan untuk sampai sekretariat. Sebanyak itu juga aku menggumamkan sumpah serapah.

"Lah? Katanya beli minum? Piye toh?" tanya Nada terheran ketika aku tiba tanpa membawa apa-apa.

"Ada gangguan," jawabku sekenanya.

Mysteriously MatchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang