"Aku wis ngelu. Lima menit kenapa lama banget."
Nada dengan wajah yang sudah seperti terserap nyawanya sampai ke ubun-ubun mengeluh di sampingku.
"Metode Newton-Gregory ini akan lebih mudah kalau inkremen x-nya tetap. Jadi, persamaan konstannya menjadi..."
Pak Ari masih dengan semangat menjelaskan Bab Interpolasi dari Metode Numerik hari ini. Tangannya lincah menuliskan rumus, seakan susunan huruf dan angka tersebut sudah melayang di luar kepala. Tentulah! Beliau ini dosen puluhan tahun, bukan mahasiswa cupu layaknya aku dan Nada.
"Pak, udah, Pak. Udah jamnya." Nada berbisik.
"Ngomongnya yang kenceng, Nad. Mana denger Pak Ari," candaku sambil menulis ulang tulisan yang ada di papan tulis ke kertas binder sebagai catatan.
"Oh," Pak Ari menilik jam di tangan kirinya, "sudah lewat, ya, jamnya?"
"Iya, Paaakk." Serentak kami menjawab. Terlewat lebih delapan menit.
"Ya, sudah. Pertemuan selanjutnya kita bahas Pencocokan Kurva, ya. " Pak Ari mengakhiri kelas.
Saat para mahasiswa satu per satu keluar dari ruangan, tiba-tiba Pak Ari memanggilku. "Regen, ke sini dulu sebentar."
Aku menatap Nada. "Duluan aja, Nad."
Nada hanya membalas dengan menganggukkan kepala lalu melenggang pergi.
Aku yang sudah siap berdiri meninggalkan kelas, berjalan mendekati meja dosen. "Ada apa, Pak?"
"Habis ini kamu ada kelas lagi nggak? Atau udah ada janji?'
Aku berpikir sejenak, menengok jam tangan. "Nggak ada kelas, sih, Pak."
"Bapak boleh minta tolong nggak, Re?"
Waduh. Pertanda buruk.
"Apa, Pak?" tanyaku dengan penuh senyum.
"Minta tolong koreksikan kuis Mateknya anak semester tiga. Bapak lupa terus mau cari asdos. Atau kamu mau sekalian?" Pak Ari terkekeh pelan.
Aku tertawa sumbang. "Saya koreksikan dulu saja, deh, Pak."
Pak Ari tertawa. "Ya, udah. Ke ruangan saya, ya. Sedikit aja kok."
Aku mengangguk. "Oke, Pak."
Jadilah aku mengekor Pak Ari ke ruangannya. Duduk di kursi yang biasanya digunakan mahasiswa untuk berkonsultasi dan sibuk mengoreksi kuis Matematika Teknik. Meja kecil yang terletak di pojok kanan ruangan dan melekat dinding penuh dengan kertas berbagai macam bentuk tulisan.
"Beneran nggak mau jadi asdos saya, Re?" celetuk Pak Ari dari mejanya, membuatku menoleh ke samping kanan.
Aku menggaruk kepala. "Kayanya semester ini belum bisa, Pak. Saya udah asisten Praktikum Material, sama lagi pegang buat Dies Natalis. Takutnya nanti malah keteteran."
Pak Ari mengangguk-angguk. "Next semester bisa, lah, ya."
"Siap, Pak."
Pak Ari ikut tertawa. "Siap, siap. Nanti tiba-tiba udah pegang ini itu lagi."
Aku hanya membalas dengan tertawa sopan.
"Ya, udah. Saya keluar dulu, ya. Nanti kalau udah selesai kamu tinggal aja nggak pa-pa." Pak Ari bangkit dari kursinya. "Maaf, ya, Re. Bapak ngerepotin udah sore gini."
"Nggak pa-pa, Pak."
Akhirnya Pak Ari keluar dari ruangannya. Seketika itu aku melihat jam di tangan. Mampus! Sepuluh menit lagi seharusnya aku ada rapat untuk para koor. Namun, serakan kertas di depanku sangat mustahil diselesaikan dalam sepuluh menit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteriously Matched
RomanceRegen tidak suka sesuatu hal yang rumit. Akan tetapi, seakarang ini ia dihadapkan dengan persimpangan; masa lalu yang muncul kembali tanpa aba-aba, masa depan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan, dan seorang anonim yang mampu mengalihkan perhatia...