47: The Worst Game All Time

207 17 0
                                    

"Re, ini kita udah boleh masuk belum, sih?" Suara Nada dibalik pintu kamarku menggema pelan.

Selama seminggu terakhir, Alika dan Nada memang tidak berani masuk ke kamarku. Semua itu terjadi setelah peristiwa malam ketika Aksa mengakui semuanya kepadaku. Tiga hari penuh aku butuhkan untuk mencerna semuanya setelah malam itu.

Aku tidak bertemu siapapun. Kegiatanku hanya ke kampus untuk kelas, lalu langsung pulang ke kos jika sudah selesai. Aku hanya bertemu Nada karena kita mempunyai kelas yang sama.

Aku belum menceritakan apa yang terjadi kepada Alika dan Nada. Aku hanya memberitahu mereka bahwa aku butuh waktu untuk berpikir akan sesuatu dan tidak ingin diganggu. Sebenarnya, setelah tiga hari aku sudah merasa cukup baik untuk berinteraksi kembali, tapi Alika dan Nada tetap menungguku untuk secara eksplisit mempersilakan mereka.

"Iya, masuk aja."

Pintu kamarku terbuka pelan. Kepala Nada dan Alika menyembul dari baliknya. Aku terkekeh melihat ekspresi mereka. "Udah ih masuk aja."

"Beneran nggak pa-pa?" Nada memastikan kembali dengan hati-hati.

Aku mengangguk dengan mantap. "Iyaaa, masuk aja cepet sini."

Senyum mereka di kedua wajah mereka. Dengan bersemangat mereka merangkak naik ke atas kasur. Nada melemparkan tubuhnya dengan sembarang, membuatku sedikit bergoyang. Alika mengambil posisi yang sama denganku untuk duduk bersila.

"Kamu beneran udah baikan, Re?" Nada menoleh ke arahku sambil tengkurap.

"Iya, Re? You're okay now?" Alika menambahkan.

Aku mengedikkan bahu. "Okay not okay?"

Sebenarnya aku juga tidak tahu apakah aku baik-baik saja. Aku rasa mungkin aku terlalu kaget dengan semua pernyataan Aksa. Bagaimana mungkin tidak mengejutkan? Seseorang yang aku pikir orang asing, nyatanya adalah seseorang yang sangat dekat. Maksudku posisinya, bukan hubungannya.

Ketika Aksa melontarkan kalimat yang mengakui bahwa ia adalah M, semua momen ketika aku menumpahkan perasaanku secara gamblang dan transparan langsung memenuhi kepala. Aku merasa ditelanjangi. Well, mungkin terlalu berlebihan, tapi begitulah rasanya. Apalagi kadang objek yang kamu bicarakan adalah lawan bicaramu sendiri. Apakah tidak konyol?

"Ini...masih...masalah yang kemarin?" Alika bertanya padaku setelah aku dapat melihatnya mencoba menahan untuk tidak mengajukan pertanyaan tersebut.

Aku tersenyum simpul, lalu menunduk. Kepalaku menggeleng untuk menjawab. "Bukan, sih. Another problem yang..." Aku membuang napas. "Yang lebih bikin gue pusing."

Nada dan Alika saling bertukar pandang.

"Kamu...mau cerita?" Nada menyahut dan bangun dari posisi tidurnya.

"Kayanya...nggak dulu deh." Aku mengulaskan senyum, mencoba meminta maaf kepada mereka karena belum bisa menceritakan apa yang terjadi kepadaku.

Seperti kata mereka, aku memilih untuk memendamnya sementara karena aku tidak ingin menjadi bias. Aku tahu mereka pasti akan mengutamakan apa yang terbaik untukku, tapi rasanya aku ingin semuanya hasil dari pemikiranku sendiri.

Aku mungkin akan menyesalinya, tapi mungkin juga tidak. Apapun nantinya, setidaknya aku mampu bertanggung jawab dan menanggungnya. Mau diakui atau tidak, terkadang pendapat dari pihak yang tidak benar-benar merasakan malah mampu memperkeruh. Meskipun tidak selalu terjadi demikian.

"It's okay kok, Re. Kapan pun lo pengen cerita, kita siap." Alika memberikan senyum yang menenangkan.

Nada mengangguk kecil.

Mysteriously MatchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang