"Besok kelas jam berapa?" tanya Mahesa sambil menyendokkan nasi dengan sepotong fuyunghai.
"Agak siang, jam sepuluhan, terus lanjut lagi setengah dua," jelasku menyuap makanan yang sama. "Lo? Pagi?"
Mahesa mengangguk. "Gue besok full sampai sore. Malemnya kayanya mau kerja kelompok, sih, tapi belum fix jadi apa enggak."
Mulutku membulat membentuk huruf 'O'.
"Biasa aja?" Mahesa menaikkan kedua alisnya.
Aku mengikuti gerakannya. "Terus? Maksudnya gimana?"
Ia berdecak. "Nggak sedih gitu? Besok nggak bisa ketemu."
Aku hampir tersedak karena menahan tawa. "Really, Hes? Sehari doang, loh."
Mahesa mengedikkan bahu. "Emang kenapa kalau sehari doang? Gue aja sejam nggak ketemu bisa udah kangen, apalagi sehari."
Kekehan keluar dari mulutku. Aku mengulurkan tangan menyebrangi meja yang memisahkan kami untuk mengelus kepalanya. "Utututu, vidcall kan nanti bisa. Alay dasar."
"Orang sayang kok malah dibilang alay." Mahesa merajuk.
Aku masih tertawa melihat wajahnya dengan mulut yang sedikit manyun. Aku menyadari bahwa Mahesa orang yang selalu mengungkapkan perasaannya dengan mudah dari saat pertama mengenalnya. Akan tetapi, aku tidak tahu bahwa ia akan se-direct dan sefrontal ini. Aku yang tidak pernah berhubungan dengan manusia jenis ini seringkali dibuat tidak mampu menduganya. Aku memang bukan orang paling pendiam, tapi aku sulit jika harus terbuka mengenai perasaan.
"Besoknya kan Sabtu, puas-puasin nanti main." Aku sudah seperti sedang membujuk seorang anak lima tahun.
Mahesa menyipitkan mata. "Beneran, ya."
Aku tersenyum sambil mengangguk. "Iyaaa."
"Oke." Ia melengkungkan ibu jari dan telunjuknya menjadi bulat.
Beberapa saat kami habiskan dengan mengobrol sambil mengisi perut. Ada satu hal yang sejak kemarin—bahkan sebelum libur kuliah—yang sedikit agak menggangguku. Aku belum menceritakan apa yang terjadi denganku dan Aksa tempo hari.
Apakah harus kuceritakan? Apakah tidak perlu? Toh, tidak ada hal yang...spesial...terjadi, kan?
"Bentar gue bayar dulu. Minumnya dihabisin dulu aja," ucap Mahesa sambil berdiri, kemudian berjalan mendekati kasir.
Aku memperhatikan Mahesa. Dari mulai menanyakan bill kepada kasir, bagaimana ia mengambil dompet yang ada di saku belakangnya, hingga senyuman yang ia berikan setelah menerima uang kembalian. Ia kemudian membalikkan badan untuk kembali. Namun, baru beberapa langkah, ia terhenti.
Ada dua orang perempuan sebayaku berhenti di depannya. Mahesa mengulaskan senyumnya, begitu juga dua orang tersebut. Mereka sedikit menepi agar tidak menghalangi orang yang berlalu-lalang. Jika diperhatikan, mereka terlihat cukup akrab. Apakah teman sejurusannya?
Setelah cukup lama—melihat minumku yang telah habis tak bersisa—mereka kemudian berpisah. Mahesa berjalan kembali mendekati meja kami. Aku terus melihatnya sampai ia kembali duduk di kursinya.
Sadar akan pandanganku yang tidak kunjung putus dari tadi, ia menarik salah satu sudut bibirnya. "Kenapa? Ngeliatinnya gitu banget. Jealous?"
"Dih." Dahiku mengerut dalam. "Dah, lah, yuk. Pengen es krim." Aku segera berdiri dan pergi meninggalkannya.
Sampai di dalam mobil, Mahesa masih saja tertawa. "Tahu nggak info baru yang gue dapet hari ini?"
Aku melirik ke arahnya. "Apa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Mysteriously Matched
RomanceRegen tidak suka sesuatu hal yang rumit. Akan tetapi, seakarang ini ia dihadapkan dengan persimpangan; masa lalu yang muncul kembali tanpa aba-aba, masa depan yang terlalu menggoda untuk dilewatkan, dan seorang anonim yang mampu mengalihkan perhatia...