56~ Its My Dream, Mas!

69 1 0
                                    

Sudah hampir satu hari sejak Sarah di pindahkan ke ruang opname. Namun manik mata kesayangan Vino itu belum kunjung terbuka. Entahlah apa yang membuat Sarah begitu lama membuka mata. Vino hampir seharian mengeluarkan air mata, meski sudah dikuatkan Sakha atau diajak Ezi keluar. Air itu kembali keluar ketika melihat Sarah berbaring lemah di Brangkar rumah sakit.

"Gue mau makan dulu, ya. Titip Sarah" ucap Vino pada Vony dan Annes. Mereka berdua hanya mengangguk lesu. 

Ada sedikit perasaan bersalah. Jika saja mereka bertanya dengan benar dan baik mungkin mereka tidak akan melihat Sarah terkapar di ranjang rumah sakit dan kehilangan calon janinnya.

"Cuy" suara serak, namun kecil hadir di telinga kedua wanita yang menginjak usia tiga puluhan.

"RA?" Pekik keduanya langsung berdiri menghampiri Sarah. Vony langsung menekan tombol untuk memanggil dokter.

"Gimana perasaan lo, Ra?" Annes langsung bersuara. Vony beberapa kali memegang dahi Sarah dan kaki tangan Sarah untuk mengecek sensor motorik agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

"Mana Vino?"

"Keluar, makan. Gue panggilin bentar" selang beberapa detik sebelum akhirnya tangan Sarah mencegat Annes yang ingin menelpon Vino.

Sarah paling tahu, kemungkinan besar Vino beberapa hari ke belakang tidak makan dengan baik "Biarin, dia pasti gak makan. Bentar lagi pasti balik" jelasnya. Annes mengerti, lalu mengangguk.

Vony mengambil tangan kanan Sarah "Ada yang lu keluhkan sakit, Ra?" Vony mengecek sejenak nadi di tangan Sarah.

"Gak kok aman. Vino seharian disini, ya?"

Annes dan Vony beradu pandang "Gokil, laki lo seharian nangisin lo, Ra" jelas Vony masih terperangah.

Sarah tersenyum.

Dan selang beberapa menit. Kenop pintu berputar, Vino. 

Laki-laki itu sudah berganti pakaian. Sesuai dengan ucapan Annes, ia tidak ingin Sarah melihat tubuh Vino bersimbah darah saat mengangkat tubuhnya. Oleh karena itu, disinilah Vino dengan kaus hitam dan baggy pants berwarna coklat. Sarah pernah memujinya tampan mengenakan pakaian ini.

"Ra?" Panggilnya setengah menjerit. Ia berlari dan hampir menabrak brangkar tempat Sarah tidur.

"Halo, Mas!" sapa Sarah riang.

"Ra, Sayang? Ada yang sakit gak?" air mata Vino Kembali keluar melihat wajah pucat istrinya.

"Mas, jangan nangis lagi dong. Sini aku peluk, rindu kan katanya?" Sarah menarik Vino kembali kedalam dekapannya.

Vony dengan sengaja membuat video mereka.

Dekapan yang beberapa hari ini paling Vino inginkan di seluruh dunia. Suara yang beberapa hari ini paling ingin ia dengarkan. Serta panggilan 'Halo Mas' yang paling manis yang pernah ia dengar.

"Ra, maafin aku. Anak kita udah gak ada gara-gara aku. Badan kamu jadi kucel gini gara-gara mikirin aku. Aku gak pantes jadi suami kamu, Ra!" Tangisnya pecah, menggema seisi ruangan. Vino tidak peduli bila nanti akan di ejek habis-habisan oleh Vony atau Annes.

"Mas, udah dong. Urusan anak salah kita berdua."

 "Kan, nanti juga dikasih Tuhan lagi." Sarah mencoba meredakan rasa bersalah suaminya.

"Ra, kamu baik banget, Yang. Mas udah nyakitin kamu, kamu sebaik ini. Mas hutang budi sampai mati Ra sama kamu" racau Vino.

"MAS!" Seru Sarah melepas pelukannya.

"Udah, ya? Kita ikhlasin sama-sama. Oke?" Sarah menghapus air mata terakhir yang jatuh. Dan berjanji itu air mata terakhir dari suaminya.

Maka semua yang hilang, yang terlewati, dan yang membuat sakit biarlah berlalu. Ia ikhlas menerimanya dengan lapang dada.

Cold And Bedu [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang