29. Meet Domy

1.6K 110 6
                                    

Happy reading

     

        

"Bubu."

Suara itu begitu lirih. Namun sanggup membuat Thami yang sedang berbaring karena sakit menjadi bangun. Dan Mario yang duduk di sisinya menoleh seketika.

"Adek!" pekik Thami.

Mendapati Javvas berdiri di pintu dengan Jay yang merangkul pundaknya seraya tersenyum, tangis Thami pecah. Ia bangkit lalu dengan dituntun oleh Mario menghampiri Javvas yang juga berjalan mendekat padanya. Thami langsung memeluk tubuh Javvas erat saat mereka saling berhadapan.

"Adek kemana aja Sayang? Bubu kuatir banget," ucap Thami disela tangisnya.

"Maaf Bu. Maafin adek," lirih Javvas.

"Jangan pernah pergi ninggalin Bubu, Sayang! Bubu bisa gila kalo kamu pergi."

Javvas mulai menangis.

"Enggak Bu, adek gak akan pergi lagi. Ini tempat adek. Ini rumah adek. Iya kan Bu!?"

Thami melepas pelukannya. Ia tangkup wajah Javvas dengan kedua tangannya. Lalu menciumi wajahnya.

"Bener, Sayang. Ini tempat adek. Ini rumah adek. Jadi jangan pernah pergi lagi! Ya Sayang?"

Javvas mengangguk. Lalu Thami kembali memeluknya. Isakan keduanya memenuhi ruangan. Mario dan Jay menatap keduanya penuh haru.

Di balik punggung Thami, Javvas mengulurkan tangannya pada Mario. Pemuda itu menyambutnya. Digenggamnya erat tangan Javvas. Dan sebelah tangannya ia bawa untuk mengusap lembut surai hitam kesayangannya itu.

            

°°

            

Javvas keluar dari kamar orang tuanya perlahan-lahan. Pintu di belakangnya ia tutup dengan sangat hati-hati agar tak membangunkan Thami yang baru saja tertidur setelah ia suapin dan beri minum obat. Jay benar, keadaan Thami jauh lebih baik setelah Javvas pulang. Ia hanya membutuhkan sedikit istirahat lagi supaya benar-benar sembuh. Dan sejak putra bungsunya itu pulang, Thami tidak ingin Jay dan Mario mendekat. Ia ingin Javvas yang meladeninya.

Javvas hendak melenggang menuju kamarnya ketika tangannya ditarik lalu tubuhnya dipeluk dari belakang dengan posesif. Ia terkejut mendapat perlakuan tiba-tiba Mario.

"Kenapa kamu suka sekali bikin abang kuatir, Sayang? Apa kamu tau, abang ketakutan setengah mati waktu kamu pergi tengah malam itu," ucap Mario sendu.

"Abang takut sesuatu terjadi sama kamu. Abang takut kamu kenapa-napa."

Javvas menunduk. Rasa bersalah menyelimutinya. Tangannya menggenggam erat tangan Mario yang melingkar di perutnya.

"Maaf," hanya itu yang ia ucapkan.

"Abang kan udah bilang. Kalo butuh apa-apa bilang abang. Butuh yang abang maksud itu maknanya luas, Sayang. Bukan cuma benda, bukan cuma perbuatan. Tapi juga bahu buat bersandar, telinga buat mendengar, dan raga buat dipeluk. Abang tau pikiranmu lagi kacau waktu itu. Abang tau kamu pasti syok. Makanya abang nawarin diri abang. Kamu bisa luapin semua keluh kesah dan kesedihanmu sama abang. Abang bakal dengerin. Abang bakal peluk kamu dan bilang 'Tenang Sayang, abang ada disini.'. Tapi kamu malah pergi."

"Maaf, Bang. Maafin adek. Adek cuma terlalu syok sampe gak bisa mikir. Malam itu adek ngerasa sendiri, ngerasa gak punya siapa-siapa. Karena adek ngerasa adek bukan siapa-siapa di keluarga ini. Jadi adek mutusin buat pergi."

Mario melepas pelukannya dan memutar tubuh Javvas perlahan. Diraihnya kedua tangan Javvas dan digenggamnya erat. Pandangan matanya menatap lurus pada kesayangannya.

Brother Complex | MarkNo (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang