Bab 10

4.2K 215 0
                                    

Sesampainya di London Cafe, aku segera mendatangi bagian kasir dan memesan makanan yang diminta Pak Dirga untuk dibungkus.

Usai membayar pesanan tersebut, aku menoleh kesana kemari mencari tempat duduk yang kosong.

Beruntungnya aku karena masih mendapatkan kursi kosong di tengah keramaian cafe ini. Aku pun segera melangkahkan kakiku ke arah kursi yang kosong dan duduk di sana.

Sambil menunggu pesananku selesai, aku mengedarkan pandanganku ke hampir seluruh bagian cafe ini. Desain interior cafe ini sungguh cantik, terkesan mewah dan juga romantis.

Namun, tiba-tiba mataku terpaku pada sosok pria yang tengah duduk di pojok cafe bersama seorang wanita cantik.

Uhm, aku sepertinya mengenali pria itu. Salah! Aku sungguh sangat mengenali pria itu.

Sammy..

**

"Jelitaaa.. Hei kamu kenapa? Kok nunduk gitu?" ujarku sambil menarik kursi di samping Jelita.

"Pak Dirga.. Ehm, saya enggak kenapa-napa kok Pak"

"Wajah kamu pucat, Jelita. Apa kamu sakit?" ujarku dengan sedikit cemas.

"Ah... Ehm, iya Pak. Saya tiba-tiba enggak enak badan. Sedikit pusing aja kok Pak", jawab Jelita lemah.

"Apa kamu mau pulang saja? Kamu jangan maksain diri kalau sakit. Tunggu sebentar."

Aku segera berlari ke kantor untuk mengambil mobil dan memarkirkan mobilku di parkiran depan London Cafe.

Aku pun masuk ke dalam cafe dan duduk bersama Jelita, lalu memanggil pelayan agar mendatangi meja kami. Ya, mungkin saja Jelita pusing karena belum makan malam. Jadi aku ingin Jelita makan dulu sebelum pulang.

"Jelita. Kita makan dulu saja di sini ya. Maaf kamu jadi pusing karena telat makan malam."

"Tidak perlu, Pak. Jangan.. Saya enggak apa-apa kok. Makannya nanti saja di rumah sakit. Kasihan teman Bapak menunggu."

"Astaga, iya ya. Aku hampir lupa kalau temanku itu menunggu. Uhm, bagaimana kalau aku mengantar kamu dulu ke rumah? Jadi kamu enggak usah ikut ke rumah sakit. Biar aku sendiri saja."

"Jangan, Pak. Saya biar pulang sendiri. Saya bawa motor kok, Pak."

"Sudahlah jangan membantahku kali ini, Jelita. Aku enggak akan ngebiarin kamu menyetir dalam keadaan sakit seperti ini. Kumohon kali ini kamu mau memenuhi permintaanku ya", ujarku lagi tegas.

Kulihat Jelita tampak menimbang-nimbang permintaanku. Hingga akhirnya dia mengangguk.

Pelayan pun datang sambil membawa pesananku. Kami pun berjalan beriringan menuju pintu keluar cafe.

Entah perasaanku saja atau bagaimana, aku daritadi merasa seperti ada sepasang mata yang memperhatikan langkah kami saat berjalan keluar cafe ini. Tapi sudahlah, yang penting saat ini aku harus segera mengantarkan Jelitaku pulang.

Mungkin aku memang bernasib baik malam ini, karena aku bisa lebih lama berdekatan dengan dirinya.

Terima kasih, Tuhan..

**

Love & EconomyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang