Bab 3

6.3K 312 0
                                    

Aku berjalan di belakang Siska dan tak lupa tuk tersenyum setiap kali berpapasan dengan karyawan lainnya.

Kami langsung berjalan menuju ke sebuah ruangan berukuran sekitar 5x5 yang didominasi warna hitam putih, dengan tatanan interior yang semakin menguatkan kesan maskulin di dalamnya.

"Nah ini ruangan kakak sepupuku, Dirga Saputra. Dia Direktur Marketing hotel ini. Sebenernya ruangannya ada di lantai 10, tapi karena lantai 10 lagi direnovasi, sementara dipindah kesini dulu. Kamu bakal kerja bareng dia sebagai asisten pribadinya merangkap sekretarisnya, ya syukur-syukur kalo berjodoh bisa jadi istrinya juga, hihihiii.." canda Siska.

"Kamu bercanda dech. Mana mungkin terjadi. Lagian aku bukan siapa-siapa," jawabku. Tiba-tiba saja suasana hatiku jadi sedih, aku teringat 3 kisah kasihku yang gagal karena perbedaan status ekonomi kami.

"Jel, maaf bukan maksudku bikin kamu sedih gitu. Maaf ya.." ujar Siska sungguh-sungguh.

"Iya gapapa kok.." balasku sambil tersenyum.

"Dirga sebentar lagi sampai, Jel. Aku udah bilang ke dia buat ngajarin kamu dulu aja hari ini tentang kerjaan kmu. Kalo kakak tampanku itu ngapa-ngapain kamu, bilang ke aku ya, hehehe!"

"Iya, moga aku bisa ngikutin ritme kerja kakak sepupu kamu ya.."

Siska mengangguk dan tak lama kemudian dia tampak mengeluarkan amplop coklat kecil dari saku blazer kanannya.

"Jel, ehmm maaf banget sebelumnya. Kamu jangan tersinggung ya. Ini ada uang yang bisa kamu pake dulu. Anggep ini adalah bonus kerja yang kamu dapetin di awal. Aku mohon kamu terima ya." ujar Siska sambil meraih tangan kananku dan memberikan amplop itu untuk kuterima.

"Maaf Sis, aku gak bisa nerima ini. Aku udah banyak ngerepotin kamu."

"Jel, please.. Terima ya dan kamu gak usah ngerasa ngerepotin aku karena aku gak ngerasa kamu repotin. Lagian kita khan udah lama bersahabat.." ucap Siska lagi.

"Gak bisa, Sis.."

"Ayolah, please ya ya yaaa.. " pinta Siska lagi.

Cukup lama aku diam menatap amplop itu. Jujur aku sangat berat menerima bantuan dari Siska lagi. Tidak terhitung lagi bantuan yang diberikannya kepadaku dan juga keluargaku.

"Please, Jel. Uang ini bisa kamu gunakan untuk Mila, Ayah, dan Bunda. Bukannkah Bunda masih harus check up ke dokter kan dan Mila udah mau taun ajaran baru pasti perlu buat beli buku dan lainnya.

Aku termenung lagi. Memang benar Bunda masih harus check up ke dokter karena sakit jantung yang dideritanya selama 5 tahun terakhir. Dan Mila juga 3 bulan lagi perlu buku dan yang lainnya. Ya Tuhan, aku harus bagaimana. Aku tidak ingin merepotkan Siska terus.

"Jel, kok malah diem sich? Kalo kamu gak mau terima uang di amplop ini, dengan berat hati aku menolak kamu buat kerja di hotel ini," ancam Siska sambil bersiul-siul.

"Hhhhh... Jangan Sis.. Aku sangat butuh pekerjaan.."

"Jadi?"

"Hmm, baik aku terima tapi aku akan catet semuanya dan suatu saat akan aku kembaliin ya.." balasku.

"Nah gitu donk.. Sekarang kamu buka dulu amplopnya. Diliat dulu, kali aja aku salah masukin jadi masukin potongan koran, heheheee!"
Kubuka perlahan dan aku sungguh terkejut karena uangnya sangat banyak dan ada sebuah cek sebesar tiga puluh juta.

"Aku harap itu dapat untuk membantu pengobatan Bundamu, Jel."

"Siska, iniii.." tanganku gemetar dan tak kuasa aku menahan tangis. Rasa haru langsung menyelimuti diriku.

Kulihat Siska tersenyum dan  segera meraihku ke dalam pelukannya. Dia memelukku erat dan mengelus kepalaku. Aku pun menangis di pundaknya.

"Ayah dan Bundamu udah aku anggap seperti pengganti orang tuaku yang udah lama gada di dunia ini, Jel. Aku berhutang nyawa sama Ayahmu dan kamu. Kalo gak ada kalian, mungkin aku udah meninggal. Aku juga ngerasa bertanggung jawab atas ulah ayah tiriku yang jahat kepada keluargamu, Jel. Kalo bukan karena dia, pasti hidupmu gak akan semenderita ini dalam 7 tahun terakhir," ucap Siska seraya menangis.

"Tapi kami ikhlas membantumu saat itu, Sis. Kamu udah terlalu banyak nolong kami. Jangan lagi, Sis. Kami juga udah gak mempermasalahkan tindakan ayah tirimu ke keluargaku, itu sudah lama berlalu.." jawabku.

"Kalo kamu aja ikhlas, begitu pun halnya dengan aku. Aku pun ikhlas membantu kalian. Kalian udah seperti keluarga buatku." Siska pun melepaskan pelukannya.

"Dan aku harap kamu mau nerima 2 kunci ini," ujar Siska seraya  mengeluarkan kunci dari saku blazer sebelah kirinya dan meletekkan keduanya dalam genggaman tanganku.

"Untuk apa ini, Sis?" tanyaku.

"Aku harap kali ini kamu gak motong pembicaraanku ya Jelita sayang. Gini, aku tau sebentar lagi sewa rumah kamu udah mau berakhir. Jadi aku pengen kamu tinggal di apartemen yang kamu pegang kuncinya itu. Apartemen itu punya aku juga kok, kamu tenang aja. Kebetulan udah lama kosong gak ada yang nyewa. Aku juga tinggal di apartemen itu tapi beda lantai ama yang buat kamu. Kamu di lantai 5, aku di lantai 9. Tapi situ hanya ada 2 kamar tidur, 2 kamar mandi, dapur beserta meja makan, ruang tamu dan ruang tv. Nah, kamu bisa ajak Ayah, Bunda, dan Mila tinggal di situ mulai besok ato kapanpun kamu mau. Biar kamu gak usah cemas ninggalin mereka karena gak begitu jauh jaraknya sama hotel ini. Satu lagi itu adalah kunci motor kantor yang bisa kamu pake sehari-hari. Kamu gak usah terlalu bingung sama bensin motornya, karena kantor ngasi penggantian 200.000 per bulan buat bensin motor. Jadi tiap isi bensin, kamu jangan lupa minta struk nya ya biar digantiin ama kantor," jelas Siska panjang lebar dengan penuh semangat.

"Siskaaaaa.." tenggorokanku tercekat, tangisku semakin menjadi-jadi. Aku hanya bisa menangis. Tubuhku melorot ke bawah sampai aku jatuh terduduk.

"Jel, maaf. Tapi aku cuma pengen nolong kamu.. "

"Gimana aku bisa balas budi baik kamu ini, Sis?" tanyaku.

"Jadilah sahabatku selamanya," jawab Siska sambil ikut duduk di bawah memelukku.

Love & EconomyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang