31. Aku Menyerah

42.1K 3.7K 1.2K
                                    

"Cinta itu bukan sekedar ungkapan, namun butuh kepastian dan bukti nyata sebuah tindakan."

Clarissa Athanasia Raymond

°°°

👑👑👑

Kalau dibilang terpaksa, itu sudah pasti. Namun jika masih diteruskan, yang ada malah perasaan itu akan semakin dalam dan menyakiti tanpa henti. Berat jika harus berusaha melupakan perasaan yang sudah tumbuh sekian lama. Bagi dirinya, seorang wanita yang minus akhlak dan minus ilmu agama, berharap untuk bersanding dengan seorang santri adalah hal yang hampir mustahil.

Tapi apalah daya jika akhirnya dia memilih untuk berhenti. Berhenti berharap, berhenti memikirkan dan berhenti mendekat selain ada keperluan dan formalitas karena mereka memiliki hubungan sebatas 'persahabatan'. Tekad yang semula masih diragukan kini telah menjadi keputusan yang harus dilakukan.

Netra hitam itu terus memandangi sebuah jaket yang digantung di dalam lemari. Dia menyentuh lengan jaket tersebut lalu mengelusnya perlahan menggunakan ibu jarinya. Dadanya terasa sesak jika mengingat betapa dalam perasaan yang dimilikinya terhadap laki-laki itu.

"Gue ikhlas ... " Rissa menjeda ucapannya. Dia menghela nafas pelan lalu tersenyum sambil menatap jaket itu. "Mungkin sekarang masih berusaha, tapi gue yakin suatu saat nanti gue bakal berhasil lupa sama perasaan ini."

"Sebelumnya makasih, Rez. Karna lo, gue jadi banyak belajar. Meskipun gue belum sadar dan masih punya kepribadian yang buruk, tapi mulai hari ini, gue bakal berusaha untuk berubah."

Rissa terdiam sambil menatap jaket kebesaran Argos milik laki-laki bermata hazel itu. Kalau dipikir-pikir, sepertinya Zakiya memang cocok dengan Farez. Mereka berdua selalu menegur dan mengajari hal yang baik kepadanya

"Jangan sering ngomong kasar ya, kak! Jangan pakai baju yang terbuka! Jangan lupa attitude dan sopan santun itu no 1."

"Jangan lupa kalau adab lebih mulia daripada ilmu. Wanita harus punya sopan santun dan etika, itu termasuk high value and class yang nggak semua orang punya dan bisa. Dan satu lagi kak ..."

"Santri itu bukan cuma yang mondok aja. Siapapun yang memiliki akhlak seperti santri, maka dia juga seorang santri."

Rissa terkekeh pelan. "Mau gimanapun dan seperti apapun gue, kalau Farez sukanya bukan sama gue, itu percuma aja. Hati gue semakin sakit kalau terus-terusan berharap."

"Dia nggak mau pacaran, sedangkan gue maksa dia buat pacaran dan mengakui perasaannya. Gue egois. Seharusnya gue nggak kayak gitu."

Rissa menertawai dirinya sendiri ketika mengingat betapa besarnya obsesi dirinya terhadap cowok itu. Bahkan dia melakukan hal yang memalukan karena menirukan tata cara dari novel yang dia baca. Rasanya menggelikan jika diingat kembali.

"Hahah, sialan! Pasti bonekanya udah dibuang. Bisa-bisanya gue waktu itu kepikiran buat ngasih dia benda kek gitu. Kalau keinget, rasanya gue malu banget."

Rissa masih ingat dengan cerita novel yang dia baca. Bisa-bisanya dia melakukan ide gila. Boneka dan kertas yang dia letakkan di laci meja waktu itu merupakan hasil dari pemikirannya setelah membaca novel romansa. Rissa kira dengan cara itu dia bisa menarik perhatian Farez. Ternyata tidak.

Rissa menghela nafas kasar. "Oke. Mulai detik ini gue nggak akan ngemis cinta lo lagi."

"Selamat, sudah menjadi orang pertama yang berhasil masuk di hati gue. Untuk kedepannya, entah siapapun yang berhasil buka hati gue kembali, gue harap dia adalah jodoh gue."

He's Not A Badboy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang