Iyan menyeka peluh di dahinya saat ia dengan cermat menata roti yang baru saja dipanggang di rak-rak pajangan di toko roti kecil itu. Bekerja paruh waktu adalah rutinitas yang harus dilakukannya, karena ia ingin membantu neneknya yang sudah lanjut usia dengan segala cara yang ia bisa. Dia adalah seorang remaja laki-laki biasa, dengan mimpi-mimpi yang tersembunyi di balik senyumnya yang malu-malu dan matanya yang lelah.
"Yan, apa semua roti sudah kau rapikan ...?" tanya seorang pria pemilik toko roti. "Aku tinggal pergi dulu, kunci toko di meja kasir!" Perlahan berjalan menarik pintu keluar dari toko tersebut.
"Baik pak," balas halus Iyan.
Saat matahari mulai turun ke peraduannya, Iyan mendongak dari pekerjaannya untuk menyaksikan pemandangan yang memukau. Siluet senja begitu terlihat jelas dari balik jendela toko menembus celah-celah lubang angin. Cahaya yang memantul dari mata birunya, bagaikan permata di tengah oase gurun.
Sebuah sepeda motor bertenaga besar berhenti di depan toko roti, mesinnya meraung-raung seirama dengan detak jantung Iyan. Sosok misterius berbalut kulit hitam dan mengenakan helm yang dihiasi dengan desain berapi-api, dengan anggunnya turun dari motor.
Iyan berdiri bersiap menyanjung datangnya pelanggan dari meja kasir. "Apa dia pelanggan baru...?" gumamnya dalam hati, matanya tertuju pada sosok gadis yang baru saja memarkir motornya di depan toko.
Rasa penasaran muncul dalam diri Iyan saat melihat pendatang baru yang misterius itu melangkah masuk ke toko roti. Helmnya terbuka, memperlihatkan rambut hitam panjang yang terurai, berkilauan kontras dengan pakaian gelap yang dikenakannya. Dia seperti bunga hitam yang mekar di tengah padang gurun, menarik perhatian semua orang yang melihatnya.
Gadis itu berjalan berkeliling toko, memandang berbagai macam roti yang tersaji di etalase. Matanya yang tajam menunjukkan rasa penasaran dan ketertarikan. Akhirnya, dia berhenti di depan sebuah nampan yang berisi éclair, kue berbentuk silinder yang berisi krim dan ditaburi cokelat. Dengan jemari yang lentik, gadis itu mengambil lima potong éclair dan menghampiri meja kasir.
"Permisi, aku mau lima potong kue ini dibungkus!" kata gadis itu, suaranya lebih lembut dari yang Iyan perkirakan. Dia menatap Iyan dengan tatapan tajam, tapi juga ramah.
Dengan suara yang bergetar, Iyan menatap gadis di depannya. Dia merasa terpesona oleh kecantikan dan karisma gadis itu. Dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah gadis itu, yang memiliki kulit putih mulus, hidung mancung, bibir merah, dan mata cokelat yang indah. Dia merasa seperti melihat bidadari yang turun ke bumi. "Ehhm totalnya 68 ribu," katanya, berusaha bersikap profesional.
Gadis itu memberikan uang kepada Iyan dengan cepat. Dia tak mau berlama-lama di tempat itu, seolah takut ada yang mengenalinya. Dia memang bukan orang biasa, dia adalah anak motor yang terkenal di kota itu. Dia sering terlibat balapan liar dan tawuran, membuat banyak orang menghindarinya. Tapi tidak dengan Iyan, Iyan malah seolah tertarik padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...