025. Sang penunggang kuda hitam

66 6 0
                                    


Fredrin menghela napas lelah sembari meraih jas di tepi kursi kerjanya. "Toka kita keluar dari sini!" ajak Fredrin.

Toka yang masih belum bisa memahami kondisi yang terjadi hanya terdiam bingung. Ia mengikuti langkah Fredrin keluar dari ruang kantornya.

Sementara di gedung sebelah seorang pria dengan senapan laras panjang berdiri dengan tatapan dingin menatap ke arah jendela kantor Fredrin dengan datar.

"Udah lebih dari 5 kali aku telopon dan dengan santainya dia malah makan peyek di situ." Bisik pria itu, suaranya bercampur emosi.

"Saat ini terjadi perubahan kehidupan dunia secara cepat belakangan ini. Aku yakin Catalyst circle sedang memutar roda dunia, dan dia belum mati!" gumam pria itu, suaranya seperti bisikan angin. Ia mengalihkan pandangannya ke langit malam, yang tampak biru dan damai, seolah-olah tak peduli dengan apa yang terjadi di bawah. Ia berbalik, meninggalkan posisinya.

Belum sempat ia keluar dari gedung, ponselnya berbunyi. Ia mengambilnya dari saku, dan menekan tombol hijau. Ia mendengar suara yang tidak asing baginya, "Halo, ini Rafel."

"Rafel, kamu masih di Bandung?" tanya sebuah suara misterius di ujung telepon.

"Pak Luis, saya baru saja akan kembali ke Magelang. Ada keperluan apa?" Rafel menjawab, rasa penasarannya terusik.

"Besok ada dinas ke jogja dua hari, sekalian bawa adikmu yang pintar itu. Ajak dia jalan-jalan sekalian, aku khawatir dengan mentalnya karena keluarganya tak terlalu peduli. Jadi nikmati perjalananya besok, sampai sini aja ya sampai besok," pinta pria itu.

"Baik pak," Rafel mematikan ponselnya sembari menghela napas panjang. "Aku capek, yah sengaknya besok bisa agak santai." Bisik Rafel, perlahan ia pergi meninggalkan gedung tersebut.

Sementara itu, di sisi lain kota, Iyan dan Morgan baru saja tiba di depan pintu rumah sakit. Mereka berlari menyusuri lorong-lorong yang penuh dengan pasien, perawat, dan dokter. Mereka mencari-cari nomor ruangan yang sudah diberitahu oleh Arya lewat telepon. Setelah berputar-putar tanpa hasil, akhirnya mereka menemukan sebuah kamar yang bertuliskan: Melati No. 5.

Nampak Arya yang sedang menuggu di depan kamar tersebut. Segera Iyan dan Morgan bergegas menghampiri Arya.

Arya yang melihat kedatangan mereka menoleh sembari mengusap perutnya yang mulai bergemericik. "Morgan kenapa lama banget, aku udah nahan lapar dari tadi..!"

"Maaf, nih gue beliin makanan," kata Morgan sambil menyodorkan sekotak nasi padang beraroma harum.

Arya menerima nasi itu dengan penuh rasa syukur, "makasih."

Iyan yang nampak terlihat cemas mengamati sesisi sudut rumah sakit. "Arya, apa Kelvin udah baikan?"

"Udah kayaknya lihat aja di dalem dia udah bisa makan juga tadi..." kata Arya sembari medongak ke arah kamar depannya.

"Oke makasih," balas singkat Iyan.

Iyan melangkah hati-hati ke dalam kamar, matanya menatap Kelvin yang terbaring di ranjang rumah sakit. "Vin, gimana keadaanmu?" Tanya Iyan dengan cemas.

Sementara Kelvin hanya menatap dengan senyum tipis.

"Aku khawatir, karena tadi kelihatan sangat terpukul." Lanjut Iyan dengan wajah cemas.

"Ya tadi emang, aku emang sangat syok karena ibu ku meningal. Kelvin merogoh di balik bantal dan mengeluarkan sebuah buku tabungan, matanya berbinar-binar dengan campuran kegembiraan dan kesedihan. "Coba lihat ini! Gue baru aja dapet warisan dari emak gue."

Perlahan Iyan mengambil buku tabungan itu dari tangan Kelvin, matanya terbelalak tak percaya melihat angka-angka yang tertera di buku tabungan itu. "gila banyank banget dijitnya..."

"Iya kan, mau jalan-jalan bareng nggak kemana gitu?"

"Nggak bisa, ehh aku ada janji liburan ke Jogja bareng Loren." Kata Iyan dengan wajah malu sembari mengaruk pipinya yang memerah.

Saat Iyan mengucapkan kata-kata itu, bayangan kekecewaan melintas di wajah Kelvin. "Jadi di tinggalin nih, nggak asik banget." Geram Kelvin demgan nada kesal.

"Cuma 3 hari, nggak lama kok," jawab Iyan mencoba menenangkan temannya.

Kelvin hanya menatap Iyan dengan wajah cemberut, harapannya dalam petualangan yang baru saja ia rencanakan runtuh di hadapannya. "Yah, nggak asik cewek mulu!"

"Hah, eh Vin lo kenal nggak sama yang namanya Zayyen?" tanya Iyan.

Kelvin menaikan pandangannya mencoba mengingat-ngingat tentang nama itu. "Nggak kenal kenapa?"

"Oh enggak tadi polisi yang tanya," Iyan hanya tersenyum sesaat, meski ia merasa ada yang aneh dengan nama itu tapi ia mencoba tak terlalu memikirkan hal tersebut. "Kalau gitu, kapan lo bisa pulang?"

"Sebenarnya udah boleh pulang tapi aku masih nunggu hasil laporan rumah sakit. Duduklah dulu, Yan! Temani aku!" Kelvin berkata, dengan lemah menunjuk kursi di samping tempat tidurnya.

"Oke, oh iya Morgan masih di sini. Bentar ya Vin gue kabarin mereka dulu!" Kata Iyan, sambil melangkah keluar dari kamar Kelvin.

Begitu Iyan keluar dari kamar, ia melihat Morgan dan Arya sedang duduk di ruang tunggu. "Morgan, apa kalian mau pulang duluan, atau mau mampir nginap di rumah Kelvin malam ini?" Iyan bertanya, kata-katanya ragu-ragu, tidak yakin bagaimana cara menutupi kegugupannya.

"Kami mau pulang aja, Yan. Rumah kami juga masih berduka." Morgan menjawab dengan nada datar.

Memahami kondisi Morgan, Iyan mengangguk. "Oh, gitu. Kalau gitu hati-hati di jalan. Emmh, terima kasih juga buat hari ini..." Suara Iyan terputus-putus, kegugupannya merembes ke dalam kata-katanya.

Mata Morgan melembut, dan sekelebat kehangatan muncul di tatapannya. "Iya, sama-sama, oh ya kalau mau berangkat besok kabari gue!" Perlahan Morgan beranjak dari kursinya.

Iyan menatap Morgan dan Arya yang mulai menghilang dari koridor rumah sakit. Iyan pun kembali ke dalam kamar Kelvin. Ia melihat Kelvin sedang menatapnya dengan tatapan tajam.

"Jadi, dia selingkuhan mu?" Kelvin bertanya dengan sinis, ada kilatan nakal di matanya.

Alis Iyan terangkat tak percaya. "Apanya goblok, dia temanya Loren lagian dia cowok." Iyan menatap Kelvin dengan wajah masam.

"Oke, aku cuma bercanda. Tapi dia baik, apa dia beneran anak geng motor?" Kelvin bertanya, rasa ingin tahu yang tulus terukir di wajahnya.

"Hemh," balas Iyan dengan tatapan acuh.

To be continued

Katalisator Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang