046. Ultraviolence

37 2 2
                                    

Tubuh Arcan terbanting ke aspal yang keras, napasnya terputus-putus. Rasa sakit menjalar dari perutnya yang baru saja menerima tendangan brutal. Di atasnya, tiga sosok yang dulu ia kenal sebagai teman sekelasnya kini berdiri dengan tatapan penuh kebencian. Hari ini, nasib buruk benar-benar menimpanya. Setelah kehilangan uang, ia malah harus berhadapan dengan hantu masa lalunya.

"Zikra?" Arcan mengerang, berusaha mengatur napasnya. Ia ingat betul alasan ia terpaksa pindah sekolah sebelum dikeluarkan: ketiga berandalan di hadapannya ini terbukti menggunakan obat-obatan terlarang dan melakukan pemerasan di sekolah. Meskipun dulu Arcan juga dikenal sebagai anak paling bermasalah selama hampir satu tahun, ia tak pernah benar-benar melewati batas moralitas sebagai seorang pelajar.

Dengan susah payah, Arcan mengangkat tubuhnya, bertumpu pada tangan dan lututnya. Senyum miring tersungging di bibirnya, sebuah ekspresi menantang yang berusaha menutupi rasa sakit yang mendera. "Kroyokan? Cupu banget," ejeknya, suaranya serak. "Lawan gue satu-satu, kalau berani!"

Zikra semakin kesal dengan sikap Arcan yang sok keras dan mulai maju selangkah.  "Lo pikir lo siapa, hah? Gara-gara lo, gue dikeluarkan dari sekolah!"

"Oh ya? Seinget gue, lo dikeluarkan gara-gara narkoba sama malak anak-anak," balas Arcan santai, meski hatinya berdebar kencang.

"Bacot lo!" Zikra meludah ke tanah. "Gue bakal bikin lo nyesel udah nantangin gue!"

Arcan menegakkan tubuhnya, bersiap menghadapi serangan Zikra. Sialan, batin Arcan, tatapannya menajam meski dari dalam dirinya ia merasa lelah dan putus asa. Kenapa gue bisa ketemu mereka lagi?

Tak jauh dari tempat mereka, Iyan tampak berdiri kikuk di pinggir pagar beton, matanya awas memperhatikan sekeliling

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak jauh dari tempat mereka, Iyan tampak berdiri kikuk di pinggir pagar beton, matanya awas memperhatikan sekeliling. Di tangannya, ia menggenggam beberapa biji-bijian yang ditaruhnya dengan hati-hati sebagai makanan burung yang sering bertengger di situ. Burung-burung itu adalah satu-satunya teman bicara Iyan, meskipun ia tahu mereka tak akan pernah mengerti sepatah kata pun yang ia ucapkan.

"Hear me out," katanya pada kawanan burung yang hinggap di dekatnya, "Ini jatah makan siang kalian. Tapi, kalau mau nambah, kalian harus bantu gue. Cari orang tajir, terus bikin mereka kena apes dikit. Nanti gue datang jadi pahlawan, dapet duit, kita bagi dua, oke!"

Iyan terkekeh pelan, membayangkan skenario absurd itu. Mungkin orang lain akan menganggapnya gila, tapi baginya, itu adalah pelarian dari kenyataan yang terasa begitu monoton dan hampa.

Burung-burung itu, tentu saja, tak menggubris ocehannya. Setelah melahap habis biji-bijian, mereka terbang menjauh, meninggalkan Iyan dalam kesendiriannya.

"Woi! Bangsat, kalian mau kemana!?”  gerutunya, sambil menendang kerikil kecil dengan ujung sepatunya. "Ck, besok nggak usah kasih burung-burung tolol itu!"

Iyan melanjutkan langkahnya dengan gusar. Namun, tiba-tiba ia terpaku. Burung-burung yang tadi terbang pergi kini berputar-putar di atas sebuah gang sempit di depannya. Suara gaduh dan teriakan samar-samar terdengar dari arah sana. Rasa penasaran mengalahkan kekesalannya. Dengan langkah gontai, Iyan mendekati gang itu, berharap menemukan sesuatu yang bisa memecah kebosanannya.

Katalisator Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang