Kesokan paginya, Iyan terbangun dari tempat tidurnya dengan rasa hampa. Suara lembut ibunya yang biasanya membangunkannya kini sirna, digantikan oleh keheningan yang menyakitkan. Hari Minggu-hari yang selalu dinantikannya-sekarang terasa sama sekali tidak istimewa. Bahkan mimpi buruk mungkin terasa lebih indah daripada terjaga di realitas yang menghimpit jiwa.
Ia menatap pintu kamar dengan ragu. Rasa takut dan malu membekukan keberaniannya untuk sekadar melangkah keluar. Perutnya memang terasa perih, namun bayangan akan tatapan dingin Fredrin jauh lebih menyiksa.
Namun, sepertinya hari ini keberuntungan masih berpihak padanya. Pintu kamar terbuka perlahan, menampakkan sosok Toka yang berjalan mendekat dengan nampan berisi roti panggang dan segelas susu hangat di tangannya.
"Iyan, mau makan bareng?" Toka tersenyum, meski ada sedikit kekhawatiran di matanya.
Seulas senyum lega terukir di bibir Iyan, walau tak mampu sepenuhnya menghapus bayang ketakutan di sorot matanya. "Kak Fredrin mana? Kamu nggak ikut sarapan bareng?" tanyanya hati-hati.
"Kayaknya dia masih tidur, deh. Semalem kayaknya dia minum banyak banget. Udah, kita makan aja yuk!" Toka segera menyodorkan sepiring roti panggang dan segelas susu pada Iyan, berusaha mengalihkan perhatiannya.
Bagi Iyan, sarapan sederhana ini terasa begitu istimewa. Rasa sakit di sekujur tubuhnya seakan menguap tergantikan oleh kehangatan yang terpancar dari perhatian Toka.
Usai menyantap sarapannya, Iyan bergegas menuju kamar mandi. Ia harus segera membersihkan diri, mengusir sisa-sisa rasa sakit yang menempel di tubuhnya. Air dingin yang mengalir dari pancuran terasa perih di kulitnya yang lebam, namun Iyan berusaha tegar. Ia teringat akan mimpinya untuk bergabung dengan sekolah militer. Rasa sakit ini, tekadnya, tak sebanding dengan kerasnya ujian yang harus ia hadapi untuk menjadi seorang prajurit tangguh.
Di saat yang sama, Fredrin melangkah memasuki ruang keluarga, mendapati Toka tengah asyik membaca buku di sofa. Ia tahu betul, adik angkatnya itu selalu menyelinap ke kamar Iyan setiap malam dan pagi hari. Kecemburuan dan amarah membakar hatinya.
"Toka," panggilnya dingin, tatapannya tajam menusuk relung hati Toka.
"Iya, Kak?"
"Bisa kamu berhenti dekat-dekat sama Xiver?" ucap Fredrin datar, namun setiap katanya terucap bak pecahan kaca yang tajam.
Toka hanya bisa menuduk ia tak pernah melihat ekspresi wajah Fredrin tampak seperti itu. Dia seperti orang asing bukan Fredrin yang selama ini ia kenal. "Ta-tapi, kak Iyan dia nggak salah!"
Fredrin menatap toka dengan tatapan yang semakin mengintimidasi. "Toka, kamu adikku sekarang dan cuma kamu yang aku punya, kau tinggal bersamaku dan kau harus ikut aturan yang aku buat! Mulai sekarang dan selamamya jauhi Xiver! Nggak ada lagi yang namanya Iyan di rumah ini!"
"T-tapi kak," ia tak dapat melajutkan kata-katanya. Fredrin benar-benar serius dengan ucapanya bagaimanapun juga ia telah mendapat adobsi dari keluarga Xiver. Ia harus mengikuti segala hal yang tuan rumah itu berikan padanya.
Tubuh Iyan seakan membatu di balik tembok, telinganya terbakar oleh setiap kata yang terlontar dari ruang tamu. Dadanya sesak, terhimpit beban yang tak mampu ia pikul. Dari balik dinding itu, ia seperti menyaksikan persidangan tanpa pengadilan, di mana ia-tanpa pembelaan-dihakimi sebagai satu-satunya pendosa di mata kakaknya sendiri.
♡♤🐬🐬
Hari-hari selanjutnya terasa seperti siksaan tanpa henti. Kehangatan rumah yang dulu mendekapnya kini berubah menjadi dingin dan menusuk. Tawa ceria yang dulu menjadi melodi keseharian kini hanya gema hampa yang menghantuinya. Hubungan Iyan dengan keluarganya merenggang, tergantikan oleh keheningan yang memekakkan telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...