Malam itu, Morgan merasakan dingin menusuk tulang. Ia berdiri di luar rumahnya, menatap pintu yang gelap gulita. Rasa cemas menggelayuti hatinya, seolah-olah ada sesuatu yang tidak beres. Ia menghembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Cahaya lampu jalan yang lembut menerangi jalannya menuju pintu depan, tempat yang biasa menyambutnya dengan hangat.
Dengan napas berat, ia berhenti sejenak di depan pintu. "Lagi-lagi lampunya belum dinyalain. Arya, lo kemana aja? Jam segini belum pulang?" gumamnya lirih, napasnya mengepul di udara dingin.
Morgan mendorong pintu kamarnya dan masuk ke dalam sana sambil ia menyalakan setiap lampu di ruang. Saat Morgan berdiri di dapur, satu-satunya suara yang terdengar adalah dengungan lembut kulkas. Ia pun berjalan masuk ke arah kamarnya dengan langkah lemas dan merebahkan dirinya di atas kasur.
Udah makan belum ya dia? Makanannya udah basi nggak ya? Atau dia lagi cari makan di luar? Pikiran-pikiran itu terus menghantui Morgan setiap malam. Ia merasa bersalah karena tidak bisa menjaga adiknya dengan baik.
Ia memiringkan wajahnya menatap ke arah jendela luar. "Apa aku udah jadi kakak yang bener, hemh aku nggak bisa tidur nyenyak kalo dia belum pulang, bahkan panggilan ku nggak pernah di angkat." Morgan sekali lagi menghela napas lelah dan mencoba memejakan matanya.
Setengah jam berlalu, Morgan masih terjaga, cemas akan Arya. Insting kakaknya memaksanya untuk tetap waspada, mata terbuka, menunggu suara kunci di pintu yang memberi tanda pulangnya Arya.
Tak lama setelah Morgan berusaha memejamkan mata, ia terkejut mendengar suara pintu rumahnya terbuka. Ia segera bangun dari kasur dan berlari keluar dari kamarnya. Ia melihat sosok yang sudah lama ia tunggu-tunggu, Arya, adiknya yang baru pulang.
Saat Arya hendak masuk ke kamarnya, Morgan berdiri di depannya, menghalangi langkahnya.
"Lo habis pulang dari mana? Udah jam segini baru pulang?" tanya Morgan dengan nada tegas, mencoba menegur Arya.
Arya melanjutkan langkahnya, seolah tak memperdulikan kekhawatiran Morgan. Morgan tidak tinggal diam. Ia menarik lengan Arya dan menghalangi jalannya.
"Lo nggak boleh masuk sebelum jawab pertanyaan gue. Gue udah sering bilang, jangan pulang malem-malem, kan!" ujar Morgan dengan nada keras.
"Gue cuma main sama temen-temen gue, lah. Santai aja."
Morgan merasakan ada yang aneh saat Arya menjawab. Bau yang sangat ia benci menyeruak dari tubuh Arya. "Arya, lo habis minum-minum, ya?"
"Bukan urusan lo, lo nggak usah banyak nanya." Arya membalikkan wajahnya, tak mau menatap Morgan.
"ARYA ...!" Morgan menarik lengan Arya dengan geram. Ia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut. Di leher Arya, ada bekas cupang yang jelas terlihat. Bau wanita yang menyengat juga tercium dari tubuh Arya. Morgan merasa tubuhnya lemas, keringat dingin mengucur dari dahinya. Tatapannya penuh kekecewaan dan ketidak karuan batin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...